Tahun Kekerasan Indonesia

Ia menyebutnya sebagai perjamuan terakhir.

Malam itu 21 Oktober 1966, Martin Aleida tiba di suatu rumah di Jakarta Pusat dengan 50 tusuk sate untuk dinikmati bersama lima kawan. Selama seminggu lewat, ia membobok tembok dan memasang pipa instalasi listrik sebuah rumah. Sebagian upahnya untuk membeli sate itu di Pasar Baru.

Pada perjamuan terakhir di Mangga Besar ini, tak ada setetes pun anggur merah dan roti, walau hanya remahnya. Yang ada cuma Putu Oka dan orang-orang yang dia berikan perlindungan serta 50 sate yang tinggal bambu penusuknya.

Martin 2020:15

Kemudian, keenam orang ini bersiap tidur di rumah itu. Martin sedang siap tidur  menempati dipan di kamar belakang, ketika seorang lelaki bertubuh kurus disiksa asma mendadak-sontak berdiri di depannya dan menodongkan sebilah pisau .

“Di mana yang lain, Lan?” Burhan Kumala Sakti menyergah. (Nurlan adalah nama asli Martin sebelum ia menggantikannya menjadi Martin Aleida pada 1969). Martin ingat ia dan Burhan sama-sama memantau siaran Radio Republik Indonesia dari seluruh daerah pada minggu pertama Oktober 1965. Dahulu ia anggota dewan nasional Pemuda Rakjat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia, PKI. Burhan telah menjadi interogator untuk kepentingan militer sekaligus jadi tukang tunjuk terhadap mantan kawan-kawannya sendiri. 

Berenam itu dihalau masuk dalam mobil  yang sudah menunggu. Beberapa orang tentara yang menyembunyikan baju seragam  dan tanda pangkat di balik jaket hijau, berdiri berjaga-jaga.

Martin Aleida wearing a blue beret, standing in an alleyway in Jakarta - New Naratif
Martin Aleida, 76, Jakarta, 25 Aug 2020

Penggalan ini diangkat dari terbitan baru Romantisme Tahun Kekerasan, Sebuah Memoar Martin Aleida. Buku ini bercerita tentang seorang reporter terjerembab dalam topan peristiwa-peristiwa besar pengubah keadaan dalam sejarah politik Indonesia – tuturan sebuah roda gigi kecil terperangkap dalam putaran roda-roda besar. Martin, kini 76 tahun, mengulas bagaimana ia menanjak dari copy boy pembantu redaksi   menjadi wartawan istana, lalu terpental menjadi tahanan politik , dan kemudian  setelah dibebaskan dari tahanan, bangkit dan memulihkan kehormatannya  sebagai seorang jurnalis dan penulis pemenang hadiah. Ia saksi mata kejadian-kejadian pancaroba: intrik dalam tubuh media sebuah partai politik besar, dan kehidupan dalam sebuah pusat tahanan politik.   

Kisah ini ditutur dalam gaya percakapan dan tidak urut, dengan pengalaman Martin selaku reporter dan tahun-tahun pascapenjaranya diselingi dengan penggalan dari hidup sebagai tahanan politik , ditahan tanpa dakwaan atau  diadili. Narasi kaya deskripsi Martin mencatat keteguhan seorang buron dalam pelarian, pengkhianatan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, kekuatan watak, moral tinggi, kebaikan manusia, pembuatan diri kembali, kebangkitan, dan cinta tahan uji, tahan lama.  

Penahanan Politik

Martin dan lima rekannya diduga terlibat dalam Gerakan 30 September, G30S, usaha kup yang gagal pada 1 Oktober 1965, yang disalahkan pada PKI. Pada 30 September 1965 malam hari, sejumlah regu serdadu bersenjata di bawah perintah Letnan Kolonel Untung, komandan batalyon dalam resimen Tjakrabirawa pengawal presiden, menyebar menuju enam sasaran di Jakarta: enam jenderal, termasuk panglima angkatan darat Letnan Jenderal Achmad Yani, diculik dan dibunuh.     

Pagi berikutnya, Letnan Kolonel Untung mengumumkan di RRI bahwa gerakan itu untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari upaya pengambilalihan kuasa oleh sebuah dewan djenderal dan bahwa sebuah dewan revolusioner telah dibentuk.

Tetapi panglima komando strategis cadangan angkata darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto, seorang jenderal bermata rajawali tajam yang secara celaka telah diabaikan pelaku komplot, menghentikan G30S malam itu juga. Sejarahwan John Roosa, dalam buku terbit 2006, menerima sebagai kenyataan bahwa Soeharto memakai gerakan itu sebagai satu alasan, sepotong jubah, untuk menghantam PKI dan secara bertahap memperlemah Presiden Sukarno. 

Mereka (pimpinan angkatan darat) memerlukan dalih. Dalih paling baik yang mereka temukan ialah sebuah percobaan kup yang gagal dan bisa dipersalahkan kepada PKI. Angkatan Darat, dalam rencana cadangannya, telah menyusun sebuah rencana permainan: mempersalahkan PKI karena percobaan kup, melancarkan perang total terhadap partai, mempertahankan Sukarno sebagai presiden boneka, dan tahap demi tahap mengangkat angkatan darat masuk ke pemerintahan.

Roosa 2006:176-177

Saat itu, PKI merupakan partai politik tangguh dan mengklaim punya dua juta anggota. Ia merupakan partai komunis pertama di Asia dan terbesar ketiga di dunia setelah partai di Tiongkok dan Uni Sovyet. Tetapi setelah kup G30S yang gagal, angkatan darat berada di atas angin dan memburu partai dan  organisasi-organisasi massa terkait. Antara 500.000 dan 1 juta orang Indonesia dibunuh sebagai akibat ganas kemudian.

Razia-razia untuk menjaring orang yang diduga komunis terus berlangsung jauh setelah kup itu gagal. Penggeledahan rumah di Mangga Besar, satu tahun kemudian, itu buah tangan Operasi Kalong, ditangani unit intelijen Komando Distrik Militer (Kodim) 0501 Jakarta Pusat. Operasi itu menangkap Putu Oka Sukanta (aktif dalam himpunan penulis sayap kiri Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) selaku penanggung jawab rumah sembunyi Mangga Besar), Arifin (pelukis), Mujio (pembantu rumah), Zaini (pelajar sekolah menengah atas adik pelukis Marah Djibal), T. Iskandar A.S. (wartawan harian haluan kiri Bintang Timur dan pengarang ternama) dan Martin Aleida, saat itu dikenal bernama Nurlan (wartawan Harian Rakjat, organ partai PKI).

Putu Oka Sukanta speaking
Putu Oka Sukanta, 2010an

Kawanan itu dibawa ke satu pusat penahanan militer  di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Sisi selatan jalan itu diisi sarana Seksi 1 (intel) Kodim 0501. Ia terletak di belakang apa yang sekarang merupakan halaman luas Bank Indonesia, bank sentral. Lahannya dapat mengisi lima lapangan bola. Sisi utara jalan berisi gedung-gedung tempat para tahanan dirumahkan. 

Pendidikan semula dan awal dalam jurnalisme

Lahir 31 Desember 1943 di kota pantai Tanjung Balai di Sumatra Utara, Martin adalah putra saudagar bahan bangunan. Ayahnya membeli atap rumbia dan kayu dolken semacam kayu bakau untuk dijual ke perusahaan perkebunan karet di luar kota Kisaran, sekitar 25 km dari Tanjung Balai. Tokonya, Toko Baru, juga jual semen dan beras.     

Martin gemar berbahasa. Di Sekolah Menengah Pertama, ia menang sayembara deklamasi dengan membacakan syair Chairil Anwar mengenai Diponegoro, pangeran Jawa abad ke-19 yang berperang selama lima tahun (1825-1830) melawan penjajahan Belanda. Diponegoro ditangkap dan dipenjarakan dalam pengasingan seorang diri menyusul tipu muslihat Belanda mengundang sang pangeran untuk berunding di rumah pilihan komandan Belanda sendiri.

Dalam tahun pertama di SMA, Martin jadi mengenal LEKRA, kandang penulis yang bersimpati pada PKI. Tahun berikutnya, ia menulis cerita pendek – cerita pendek yang dimuat Harian Rakjat (organ partai PKI) dalam rubrik budaya di halaman 3. Harian pagi Jakarta ini tiba di Tanjung Balai, 150 km dari ibukota provinsi Medan, sore hari pada hari sama. 

Selesai SMA, Martin bertolak ke Jakarta Desember 1962 dengan restu emaknya tapi tidak dari ayahnya. Kata-kata perpisahan bundanya, jangan lupa salat.

Ia berkontak dengan  penulis-penulis haluan kiri beken dan anggota LEKRA  T. Iskandar A.S., Agam Wispi, S. Anantaguna, nama-nama yang ia sudah kenal berkat karya mereka di Harian Rakjat. Kerja pertama Martin adalah sebagai seorang sekretaris dan mahasiswa Akademi Sastra Multatuli. Salah satu  pendiri dan tokoh LEKRA adalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan berkarya produktif dan sudah tenar secara internasional. Ia singa dalam kandang LEKRA. (Pramoedya tidak lolos dari razia militer: ia tinggal selama 10 tahun di Pulau Buru yang terisolir di Maluku.)

Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer, 1950an

Pada 1963, setelah beberapa bulan di akademi, Martin pada usia 19 tahun melamar menjadi reporter di dua penerbitan. Harian nasionalis Merdeka mengabaikan lamarannya. Justeru Harian Rakjat (HR) menerima Martin. HR beredar besar dan berpengaruh. Omzet pada tahun 1951, saat mulai terbit, sebesar 2.000 eksemplar. Sirkulasi meningkat menjadi 58.000 pada 1956 dan memuncak pada 85.000 tahun 1965 (Hill 1994:29-30), di negeri yang berpenduduk hampir 100 juta jiwa. 

Redaksi Jakarta berjumlah 30 wartawan. Hariannya tidak punya koresponden tetap di daerah-daerah, tapi ada jajaran pembantu khusus. Di luar negeri, HR punya koresponden di Moskow, Berlin Timur, Beijing, Tokyo dan Hanoi (untuk meliput perang di Vietnam dari sudut pandang Utara).  

HR dalam lanskap politik

Gambar besar politik Indonesia awal 1960an berpusat pada perseteruan antara dua kubu kuasa besar yang berusaha mempengaruhi Sukarno dan memperoleh dukungannya. Ia adalah Pemimpin Besar Revolusi yang tak tertandingi yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan tetap menjadi presiden sejak itu. 

Penting untuk diketahui, sebuah insiden di Madiun, Jawa Timur, September 1948, mengarah pada dendam bertahan lama angkatan darat terhadap PKI. Musso, seorang pemimpin PKI yang telah kembali setelah 12 tahun melawat di Uni Sovyet, berseru agar Indonesia lebih dekat dengn Uni Sovyet Stalin.  Ia salah hitung dengan fatal ketika dalam siaran radio ia menantang otoritas Sukarno dan berseru untuk beradu habis-habisan (Ricklefs 1981:217). 

Setelah begitu lama tidak berada di Indonesia, Musso tak sadar bahwa Sukarno punya dukungan publik luas.  Musso dibunuh 31 Oktober 1948 dalam adu tempur melawan pasukan republik yang setia pada Sukarno. Angkatan darat mempertanyakan mengapa Sukarno tidak melarang PKI karena tindak makarnya. Kepemimpinan partai yang masih ada berpisah untuk bersembunyi untuk kemudian berkumpul lagi pada 1951. 

HR berperan secara berarti dalam lanskap politik ini. Njoto, ketua dewan redaksi, adalah juga orang nomor tiga dalam urutan kepemimpinan PKI, selaku wakil ketua kedua comite central. Ketua partai adalah D.N. Aidit. Wakil ketua pertama adalah M.H. Lukman. Mereka bertiga bersama wakil ketua ketiga Sudisman adalah generasi baru muda politburo yang mnghidupkan kembali partai pada 1951. Pada waktu itu Aidit berumur 28 tahun dan Njoto 26 tahun. Dalam pemilihan umum parlementer pada 1955, PKI berhasil sebagai partai terbesar keempat.

 Presiden Sukarno mengangkat Njoto sebagai menteri negara tanpa portfolio. Ia menjadi jurutulis pidato bagi presiden selain punya rubrik sendiri dalam HR, “Tjatatan  Seorang Publisis”, di bawah nama pena Iramani, nama adik perempuannya. Tajuk rencananya di halaman depan beradu terus menerus melawan harian-harian non-komunis, terutama harian Merdeka. Mereka berselisih pendapat terutama tentang Sukarnoisme.

Martin mengenang cerita ia dengar dari Sitor Situmorang, ketua Lembaga Kebudajaan Nasional, (LKN) sayap budaya Partai Nasional Indonesia (PNI) berhaluan kiri. Dalam satu pertemuan dengan Sukarno, seorang pemimpin sayap pemuda PNI diberitakan bertanya kepada presiden penafsiran  Sukarnoisme mana yang benar. “Njoto,” Bung Karno nyatakan (Martin 2020:49).

 Dengan memberdayakan departemen agitasi dan propaganda, central comite , yang dikepalai Njoto, PKI akan sering mengerahkan rapat massal  berunsur organisasi masyarakat buruh, pemuda, dan wanita, melawan apa yang dipandang sebagai musuh negara  yang mewakili Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, imperialisme). Saat kurun waktu Perang Dingin ini  dengan ketegangan antara Amerikat Serikat dan Uni Sovyet, properti milik Amerika dan lembaga-lembaga berafiliasi dengan AS  kerap menjadi  sasaran. Perang di Vietnam juga merupakan satu alasan unjuk rasa melawan AS. 

Partai juga menyerang musuh dalam negeri yang dicap sebagai kapitalis birokrat, kontra-revolusioner, revisionis dan kaum berjuis. Nyatanya, mereka ini adalah orang  berpikiran liberal dan berprasangka antikomunis, serta mendukung pemilikan properti swasta. “Kapitalis birokrat” secara spesifik adalah perwira militer yang dikaryakan pada badan usaha milik negara. Di desa-desa, kader-kader Barisan Tani Indonesia (BTI) dikerahkan memperjuangkan tata alih milik tanah (land reform), sembari menuduh perkebunan-perkebunan besar telah menyerobot lahan tani rakyat.  

PKI secara politis sedang naik daun pada 1964-65. Partai sukses dalam mempengaruhi presiden dalam dua isu. 

Pertama, Sukarno melarang Manifes Kebudajaan (MK).  Perkumpulan ini dibentuk 17 Agustus 1963 oleh sekelompok sastrawan non-komunis yang memperjuangkan kebebasan berekspresi artistik dalam menanggapi melajunya pengaruh LEKRA. LEKRA dan PKI menyerang MK  sebagai penganut  “humanisme universal” yang elitis sehingga bersikap anti-nasionalisme dan anti-rakyat. Partai dan ormas pendukungnya berseru agar MK dibubarkan (Taufik 2009:322).

Sukarno mengabulkannya 8 Mei 1964. Para penandatangan MK yang bekerja di pemerintah  hilang tempat kerja mereka, termasuk kritikus sastra H.B. Jassin yang dikeluarkan dari Universitas Indonesia.   

Kedua, dalam jurnalisme, kehadiran komunisme meninggalkan capnya juga. Djawoto, pemimpin redaksi lembaga kantor berita nasional ANTARA , dan Karim D.P., ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), merupakan tokoh berpengaruh yang simpatik pada PKI. HR bermitra dengan koran-koran yang  satu pandangan politik redaksional, di antaranya Bintang TimurWarta Bhakti dan Zaman Baru.  

Hal ini mencemaskan redaktur koran-koran non-komunis. Pada 1 September 1964, mereka mendirikan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) untuk “menyebarkan ajaran-ajaran Bung Karno yang murni (dalam arti belum dipengaruhi oleh komunisme)” . Kolomnis Sajuti Melik  menulis banyak sajian tentang Sukarnoisme (Marwati & Nugroho 1984:380).

Tujuan sesungguhnya BPS ialah untuk melawan PKI.  Misalnya, pada Oktober 1964, gaduh mencuat terkait ucapan ketua PKI D.N. Aidit mengenai Pancasila, ideologi bangsa Indonesia dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama.  “Kalau kita sudah bersatu,” ia mengatakan,  “Pancasila tidak diperlukan, sebab Pancasila adalah alat pemersatu. Pancasila sebagai falsafah persatuan, tetapi masing-masing golongan sudah punya paham sendiri-sendiri.” Koran-koran anggota BPS menyerang PKI. Harian Revolusioner mengutuk pernyataan itu sebagai ucapan “berbahaya”: “Bukan saja kita sesalkan tetapi juga mengutuk dan mencela dengan tegas ucapan yang bercandu itu.” Dalam surat balasan, Aidit menuduh harian itu “subversif” karena “memutarbalik” ucapannya, sebuah tuduhan yang didukung HR yang mengklaim “koran-koran kontrarevolusioner” telah “mengacaukan dan meracuni masyarakat”(Tribuana Said & D.S. Moeljanto 1983:54-55).

PKI dan jajaran sekutunya  menuduh BPS sebagai agen CIA, mengklaim ia berupaya “membunuh Sukarno dengan Sukarnoisme”. Di bawah tekanan PKI, pada 17 Desember 1964 Sukarno melarang BPS, dan menteri penerangan pada Februari 1965 mencabut izin 21 koran yang mendukungnya, termasuk lawan polemik HR, yaitu harian Merdeka(Abdurrachman 1980:206). Lebih jauh, PWI memecat semua anggota yang terlibat dalam BPS. Para anggota BPS pun  hilang tempat kerja mereka (Marwati & Nugroho 1984:381).

Di tengah-tengah keberhasilan ini, PKI mengajukan dua usulan besar yang mengintensifkan benturan dengan angkatan darat: Nasakomisasi dan pembentukan Angkatan Kelima. 

Nasakom merupakan doktrin rumusan Sukarno dengan menyertakan tiga arus besar sosialpolitik  yang diwakili partai politik berbeda untuk memerintah negara. Mereka ini adalah arus Nasionalis (partai-partai nasionalis), Agama (partai-partai beragama, Islam dan Kristen), dan Komunis (partai Komunis). Para pemimpin dari partai nasionalis dan beragama sudah mengisi kursi  Kabinet, tetapi Aidit, Lukman dan Njoto dari PKI hanya menjadi menteri negara tanpa portfolio   

PKI mau memegang kementerian seperti perburuhan dan kepemudaan. Ia berseru agar ada penetapan wakil unsur nasionalis, agama dan komunis di aneka lembaga, dari kepemimpinan DPRD hingga kepengurusan badan usaha milik negara  (Crouch 1988:67). Ia juga mau agar Nasakomisasi menyebar ke dalam militer dengan pembentukan regu-regu pemberi nasehat dalam tubuh angkatan bersenjata. Angkatan Darat menolak ini. 

Usul kedua PKI juga memperkeras permusuhan angkatan darat terhadapnya. Aidit pada Januari 1965 mendesak pada Sukarno untuk membangun Angkatan Kelima, mempersenjatai  10 juta kaum tani dan lima juta buruh  (Crouch 1988:87) untuk membela revolusi dan meneruskan perjuangan Indonesia dalam konfrontasinya dengan Malaysia (Legge:1972:379-380). 

President Sukarno

Sukarno (kiri) menuding Inggris mendalangi pembentukan Malaysia untuk menyudutkan Indonesia. Sebuah kerumunan galak menghanguskan kedutaan Inggris di Jakarta sebagai tanggapan terhadap pembentukan Federasi Malaysia pada 1963. Tetapi penggambaran Malaysia mau memojokkan Indonesia jadi diragukan  ketika dua tahun kemudian seorang Lee Kuan Yew mencucurkan air mata untuk mengumumkan Singapura meninggalkan federasi itu.  

Agaknya, Sukarno tidak serta merta mengamini kedua usulan PKI tersebut karena khawatir dapat menyulut amarah pimpinan tentara. Apalagi ia tak dapat menyingkirkan panglima angkatan darat Yani: masyarakat dan jajaran perwira menghargai jenderal itu atas perannya memadamkan pemberontakan anti-Sukarno di Sumatra dan Sulawesi tahun 1950an.

Inilah lanskap politik Indonesia ketika Martin Aleida bergabung di Harian Rakjat pada 1963.

Kehidupan Martin dalam Harian Rakjat

Niat awal Martin ialah bertugas di rubrik pemuda koran, tetapi ia menginjak awal di anak tangga paling bawah redaksi, pertama sebagai pembantu redaksi (copy boy), lalu sebagai korektor naskah berita. Tugas reporting pertama baginya ialah meliput Balai Kota dan DPRD GR. 

Pada awal 1965, kurang dari dua tahun setelah bergabung, sebuah rapat lengkap redaksi   berlangsung di kantor baru HR di Jalan Pintu Air III, tak jauh dari Masjid Istiqlal, masjid raya Jakarta. Pemimpin dewan redaksi Njoto membuka rapat dengan menyampaikan situasi politik secara rinci, lebih rinci dibandingkan penyampaian selama ini (Martin 2020:150). Kemudian ia mengumumkan Anwar Darma yang tidak hadir dan selama ini meliput Presiden Sukarno akan dipromosikan menjadi koresponden Moskow.  Martin yang sedang duduk di belakang, sekonyong-konyong  disebut namanya sebagai pengganti Anwar. 

Pengangkatan itu menimbulkan tuduhan favoritisme. Lilik Margono yang mewakili aspirasi Pemuda Rakjat, kelihatan kecewa, Martin ingat (Martin 2020:151). Martin saat itu belum berumur 22 tahun dan tidak berpendidikan jurnalisme; pemahamannya atas politik masih dangkal. Ia baru mengantongi pengalaman satu tahun meliput gubernur Jakarta, badan legislatif DPRD GR Jakarta – memenuhi undangan, tampil di konferensi-konferensi pers dan meliput unjuk rasa melawan Amerika dan Inggris, selain juga kampanye melawan Malaysia. Njoto juga minta Martin membenahi majalah budaya LEKRA, Zaman Baru, dan menerbitkannya lebih tertib , serta mengubah format korannya  menjadi format majalah.  

Hal menarik ialah pada Juli 1965, beberapa waktu setelah pengangkatan Martin, Njoto  hilang kedudukannya di partai dan koran. Konflik internal berakibat pada disingkirkannya Njoto selaku kepala departemen di central comite partai. 

Dari berbagai pihak dan kawan dekat, saya dengar, sejak Juli 1965 Njoto sudah disingkirkan dari jabatan kepala departemen agitasi dan propaganda Comite Central PKI, digantikan oleh Oloan Hutapea. Yang berarti secara otomatis sudah bukan Njoto yang menulis editorial, komentar singkat ”Tjekak Aos” (singkat padat dalam bahasa Jawa), keduanya di halaman satu Harian Rakjat. Begitu pula “Wong Tjilik”, celutukan politik yang khas di halaman tiga. “Tjatatan Seorang Publisis”, kolomnya tiap Selasa dengan menggunakan nama Iramani, nama adik perempuannya, juga menghilang.        

Martin 2020:46

Njoto, bukan seorang dogmatis menurut Martin, sudah dituduh pengkritik kalangan dalam partai telah berkolaborasi dengan kaum borjuis . Hubungannya dengan penerjemah Rusia  dijadikan cantolan untuk mendiskreditkannya (Martin 2020:151-152). Kemudian, ketika Martin dalam tahanan, kesalahan masih diungkit ihwal pengangkatan Martin oleh Njoto.  

Ketika saya dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi Operasi Kalong, Juliarso, salah seorang redaktur luar negeri Harian Rakjat, menyambut saya, yang berlalu di depannya, dengan sindiran sengit, “Ini dia anak kesayangan Njoto”. 

Martin 2020:151

Sekalipun demikian, Martin bersiap meliput acara Istana. Perusahaan minta dia memesan setelan jas lengkap pada Lioeng Tailor di Jalan Sabang, toko jahit busana  yang diminati staf sekretariat negara dan kementerian-kementerian. Martin memilih setelan wol coklat dengan dasi elastis yang bisa digulung dan masuk kantong jas.    

Satu berita istana liputan Martin berupa sebuah pertemuan 1965 antara utusan AS Ellsworth Bunker dan Presiden Sukarno. Bunker gagal meyakinkan Sukarno untuk tidak mendukung Vietnam Utara dalam perangnya melawan Vietnam Selatan yang didukung Amerika. Martin memberi warna pribadi pada berita itu dengan melukiskan Bunker keluar dari ruang pertemuan berwajah merah-padam (Martin 2020:157).

Satu peristiwa besar yang mungkin seluruh redaksi HR hadiri ialah peringatan 45 tahun PKI 23 Mei 1965 di stadion utama 100.000 kursi bangunan Sovyet di komplek olahraga Senayan, dibangun untuk menjamu Asian Games IV pada 1962. Martin menyaksikan keagungan pertemuan itu  di mana Presiden Sukarno menhujani pujian bagi ketua partai Dipa Nusantara Aidit dengan menamakannya “benteng dan banteng nusantara”.  Wartawan ANTARA Supeno dengan suara baritonnya – di waktu kemudian mengungsi ke Negeri Belanda hingga akhir hayatnya – bertindak sebagai pembawa acara. Peristiwa akbar itu mempertontonkan puncaknya kuasa dan rasa bangga PKI.

Satu pengalaman lain dalam ingatan ialah tukar kata tatap muka Martin dengan Presiden Sukarno pada suatu jamuan teh bagi wartawan istana di teras belakang Istana Merdeka dengan pemandangan halaman luas ke belakang. 

“Koran apa?” desak Bung Karno. Gentar juga saya dibuat  pertanyaan yang diajukan Pemimpin Besar Revolusi bangsa Indonesia itu.

“Harian Rakjat, Pak ..”

Bung Karno menebarkan senyum.

“Wah … anaknya Pak Njoto,” dan dia tertawa terkekeh-kekeh.

Hati saya melambung. Terasa sepertinya Bung Karno sedang memperkenalkan saya kepada yang hadir. 

Martin 2020:150

Martin dapat tugas juga membantu Tetsuro Jamaguchi, koresponden Jakarta bagi Shimbun Akahata (Harian Bendera Merah), organ harian Partai Komunis Jepang. Martin mendampinginya secara berkala sebagai  penerjemah.  

Jamaguchi tinggal di Jalan Surabaya, jalan  pepohonan di Menteng, kawasan papan atas di Jakarta Pusat, di sebuah rumah milik Samosir, pemimpin umum HR. Martin juga menemani sampai ke meja makan. Kalau di HR, jatah makan siangnya nasi berlauk tahu-tempe saja. Sebaliknya, meja makan rumah Samosir sering menghidangkan  ikan kakap dan gurame.  

Jamaguchi membuat laporan panjang dengan foto-foto mengenai demo besar-besaran di depan kedutaan Amerika. Kepala Agitprop PKI Njoto membaca laporan itu dalam bahasa Jepang dengan tulisan kanji dan memuji korespondennya.  Tetapi Jamaguchi tak lama kemudian dipanggil kembali ke Tokyo. Tak terdengar apa yang terjadi pada dirinya (Martin 2020: 56).  

Sekalipun demikian, Martin tetap tinggal di rumah Samosir. Di situ, pada akhir 1963, ia bertemu dengan Sri Sulasmi, yang kemudian menjadi isterinya. Berasal dari Solo, Jawa Tengah, Sri adalah kemenakan isteri Samosir, Lasinem. Sri bersekolah di SMEA di Jalan Batu, dan kemudian kena gerebek dan ditahan juga di kamp sama dengan Martin selama dua bulan, membersihkan lantai  berlumuran darah kamar siksa selesai interogasi. 

HR dan G30S

Malam hari pada 30 September 1965  Martin berada di Semarang meliput diskusi politik diselenggarakan suatu organisasi buruh tembakau. Ia kembali di Jakarta 2 Oktober dan mengetahui peristiwa-peristiwa yang baru terjadi beberapa hari lewat itu dari siaran RRI dan koran lokal. Di kantor HR, muka sudah dikenal yang ia temui hanya muka milik Pak Kusen, penjaga pintu, dan beberapa anggota staf kantor. Karena merasa was-was atas keselamatannya mengingat hubungan HR dengan PKI, Martin mulai mencari rumah aman (wawancara 19 Mei 2020).

Luntang lantung dari tempat penampungan yang satu ke yang lain (termasuk penjual bahan bakar minyak pinggir jalan dan kawan-kawan sesama penulis dari kampung halaman Tanjung Balai), akhirnya saya diterima Putu Oka untuk menjadi pengunjung reguler di Jalan Mangga Besar 101 di daerah pecinan yang terletak beberapa ratus meter dari Rumah Sakit Husada, yang juga dikenal dengan nama Yang Seng Ie.  

Martin 2020:67

Tajuk rencana HR 2 Oktober menyatakan dukungan terhadap G30S dan bahwa gerakan itu merupakan cermin dari pergolakan ketidakpuasan dalam tubuh angkatan darat itu sendiri. HR mengambil sikap ini (Martin 2020:47) – satu-satunya koran yang bersikap demikian – sungguhpun penanggungjawab redaksi seharusnya tahu percobaan  kup telah gagal malam sebelumnya, ketika Soeharto, saat itu panglima Kostrad, sudah membuat pernyataan di RRI.  

Siapa penulis editorial bunuh diri ini? Angkatan Darat dengan cepat menunjuk pada tajuk itu sebagai bukti PKI terlibat dalam G30S. Martin yakin bukan Njoto  yang menulis editorial itu karena tidak bergaya tulis Njoto yang sudah dikenal Martin: berdaya desak dalam pilihan kata dan bentuk kalimat, kalimat pendek, dan kaya dalam ekspresi. 

Martin percaya editorial itu karya wakil pemimpin redaksi Dahono. Dahono dekat dengan Oloan Hutapea, kepala agitprop yang menentukan dalam menyingkirkan Njoto dari posisi-posisi berpengaruh dalam partai (Martin 2020:47). Pemimpin redaksi Mula Naibaho sering berada di luar redaksi, juga pada 1 Oktober, karena Sukarno sedang menyiapkannya menjadi duta besar di salah satu negara Eropa Timur.     

Beberapa tahun kemudian, Martin bertemu dengan Wahyudi, redaktur buruh, setelah yang bersangkutan dibebaskan dari Pulau Buru, tempat tahanan politik terkait dengan G30S. Wahyudi menjelaskan kepada Martin ia berada di redaksi pada malam naas itu, bersama dengan Muslimin Jassin, pemimpin redaksi Kebudajaan Baru, sebuah harian baru. Menjelang deadline, tiga orang yang mengenakan jaket angkatan darat datang dan minta HR dan KebudajaanBaru untuk tidak terbit keesokan harinya. Kedua redaktur minta surat resmi dari Komando Distrik Militer Jakarta untuk memasikan permintaan itu.

“Mereka tidak menunjukkan surat. Jadi kita tetap terbit,” kenang Wahyudi. Wahyudi juga menyatakan ia tidak tahu siapa menulis editorial 2 Oktober itu.   

Martin 2020:47

Tindak-tanggap  terhadap  G30S adalah pengambil-alihan cepat kawasan RRI dan pelumpuhan satuan-satuan bersenjata gerakan itu, lalu mengarah pada pembabatan PKI yang semula perkasa, ormas-ormasnya, para kader dan simpatisan. Resimen parakomando angkatan darat yang elit, RPKAD,  di bawah komando Kolonel  Sarwo Edhie Wibowo, menyisir provinsi-provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali untuk memukul habis kubu-kubu kekuatan komunis. Sekitar 500.000 orang mati. 

Pimpinan PKI cari selamat. Aidit lari dari Jakarta ke Jawa Tengah, untuk kemudian ditemukan dan dieksekusi 22 November. Njoto ditembak pada 6 November setelah menghadiri rapat kabinet. Lukman dan Sudisman bersembunyi di Jakarta (Crouch 1988:161).

Secara total, 200.000 tahanan politik ditangkap dan dibagi dalam tiga golongan. Golongan A adalah mereka yang diduga terlibat langsung dengan gerakan dan kemudian diadili di mahkamah militer. Golongan B merupakan simpatisan aktif PKI dan ditempatkan di Pulau Buru. Mereka berjumlah 12.000 orang dan ditahan sampai 10 tahun. Golongan C adalah mereka yang berada dalam organisasi massa terkait dengan PKI tetapi tidak memegang kuasa fungsional. Mereka secara bertahap dibebaskan. 

Hidup dalam kamp tahanan

Martin menggambarkan kondisi dalam penahanannya dalam apa yang ia sebut sebagai “sebuah kamp konsentrasi” secara rinci,  menyusul “jamuan terakhir”nya.

Dua tentara dalam jaket hijau, masing-masing sepucuk pistol mengintai di pinggang mereka, menggiring kami seperti kawanan maling melewat pagar kawat berduri, memasuki sebuah rumah besar, tetapi sudah renta. Di bawah cahaya lampu listrik yang lemah, kami berjalan beriringan melewati ruang yang luas, yang saya duga adalah kamar mandi, disusul beberapa ruangan yang berjejer seperti ruangan kelas sekolah ke arah belakang. Ada lorong  yang membelah lapangan yang cukup untuk bermain bulutangkis, yang menghubungkan kamar mandi tadi dengan sebuah ruangan yang lebih besar sekitar 20 meter x 15 meter. Lantai ruangan utama ini berlapis tegel dengan ornamen kembang berwarna biru  yang sudah luntur. Tinggi tembok kira-kira tiga meter, dan di atasnya disambung dengan anyaman kawat besi yang kasar hingga ke langit-langit. Menjadikan ruangan ini tertutup rapat dari dunia bebas.  

Martin 2020:18

Semua harta benda yang melekat di tubuh dirampas. Ijazah sekolah menengah atas saya. Juga surat wasiat dari kedua orangtua saya yang akan berangkat dengan kapal Arafat, untuk menunaikan ibadah haji, ikut disita dan tak pernah dikembalikan. Begitu pula dengan surat-surat cintaku dengan kekasih yang kemudian menjadi isteriku. Sisa upah minggu pertama saya sebagai tukang bobok tembok, dipotong uang membeli 50 tusuk sate, juga terbang entah ke kantong hijau yang mana.   

Martin 2020:54

Martin berbagi ruang sel berukuran 3m kali 2m bersama Samosir, anggota Biro Khusus Suherman, dan produsen film A.W. Sardjono. Tidur adalah berbaring beralas tikar (Martin 2020:102). Mereka mandi memakai kran yang juga dipakai para prajurit untuk mencuci mobil mereka. Martin yang panjang akal membuat kompor dengan pecahan genteng  dan memakai kaleng margarin untuk masak. Mitra satu sel itu masak nasi dan paket pangan apa yang mereka terima dari saudara yang bertandang ke rumah tahanan  hari Senin dan Kamis.   

Membaca buku atau koran dilarang kecuali Alquran atau Injil. Tetapi para tahanan secara diam-diam menerima bahan bacaan melalui kunjungan keluarga. Termasuk di sini karya Alexandre Dumas, Karl May dan Agatha Christie.  Martin sang kutu buku kebagian bacaan ini. 

Persetemanan tumbuh di tengah-tengah para tahanan:

Solat berjemaah di sini terasa benar-benar mendekatkan. Tidak hanya dengan Tuhan, tetapi juga, dan paling nyata, dengan kawan sependeritaan. Sembahyang Idulfitri diadakan di pelataran dekat pinti masuk kamp. Banyak kawan mengikutinya membuat lantai tempat bersujud terasa begitu sesak. Khatib adalah Nur Bakti, wartawan foto Harian Rakjat.  Saya ditunjuk sebagai mu’azzin. Tiga kali saya melantunkan pujian atas kebesaran Allah seraya menyerukan kawan-kawan untuk solat, mendekatkan diri (ke Allah), tidak untuk mengemis kebebasan, tetapi memuja takdir yang telah Dia tuliskan.

Selesai solat, saya tidak hanya bersalaman dengan Nur Bakti. Dia memeluk saya rapat serapat-rapatnya. Dia memuji suara saya. Dan kelihatannya dia terharu.  

Martin 2020:95

Namun ikatan ini diuji berat oleh pengalaman interogasi yang memecah belah.

Interogasi dan tegangan

Interogasi berlangsung di tengah malam. Penjaga mengantar tahanan menyeberang jalan dalam kegelapan. Kamp senantiasa menerima tahanan baru yang menghadapi interogasi terus menerus, termasuk anggota-anggota CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), sayap mahasiswa PKI.

Penyair Bali Putu Oka, kawan seperjalanan senasib-sepenanggungan dari malam sate bersama, dipandang terlalu penting untuk dirumahkan bersama tahanan lain. Ditempatkan di gedung markas, ia dapat secepatnya dipanggil untuk interogasi tanpa  ia harus melintas jalan . Sekujur tulang rusuk dan tulang belakangnya dilecut dan syaraf otaknya disentakkan dengan kejutan listrik (Martin 2020:37-38). Para interogator menemukan secarik kertas di saku Putu berisi nama-nama, hal mana membuka pintu bagi penangkapan pemimpin umum HR Samosir dan pemimpin redaksi Mula Naibaho.

Beberapa orang dekat Samosir dan tahanan lain menuduh Putu Oka mengorbankan kawan sendiri untuk meringankan siksaan (Martin 2020:39). Pada awalnya, tuduhan ini menyebar dan membuat siksaan bertambah bagi Putu (Martin 2020:39). 

“Sesungguhnya, saya tak tahu bagaimana para pembenci Putu itu menemukan pentungan untuk menghukumnya sesuka hati mereka seperti itu,” Martin menulis (Martin 2020:39). Ttetapi Martin percaya keteguhan dan daya tahan Putu telah membuat ciut hati interogator dan algojo yang menyiksa fisiknya. Mereka membalas dengan mempermalukan Putu, memaksanya untuk ikut operasi penangkapan Samosir (Martin 2020:40).

Cerita ini diutarakan ke Martin atas pengungkapan seorang petugas kamp. Sersan Mayor Uyan, wakil komandan kamp – dikenal para tahanan sebagai Pak Uyan – mempercayakan cerita itu kepada para tahanan.  Ia tertekan perasaannya mengapa korban siksaan dipaksa ikut berangkat bersama operasi militer untuk menunjukkan temannya sendiri yang akan diringkus. 

“Bukankah itu siksaan ganda,” tanyanya menundukkan kepala. “Tak tahu bagaimana rasanya kalau saya berbuat seperti itu. Saya tak tahu siksa seperti apa yang dirasakan dia yang diajak menangkap temannya sendiri.”  Uyan tak menyebutkan nama, tapi di benak para teman tahanan terbayang Putu.

Putu Oka Sukanta masih hidup. Dalam wawancara telepon, Putu, 81, mengatakan interogatornya mengkritiknya memberi tempat lindung bagi orang di rumahnya. Ia dipenjarakan selama 10 tahun.

Penakluk rasa takut

Pemimpin redaksi HR juga menderita akibat interogasi. Ia disuruh menelanjangi dirinya sendiri dan ditendang sampai terdukuk, tubuhnya yang kurus dihunjamkan dari arah tengkuknya dengan gerigi ekor pari kering  tak terhitung berapa kali. Uyan mengamati dari samping, berdecak kagum pada kekuatan hati dan ketangguhan fisik wartawan itu. Kejutan listrik tak membuat Naibaho menjerit juga. Kemudian, ia disuruh membenamkan diri ke dalam bak air di kamar mandi sebelah lalu dipaksa menghabiskan sepiring penuh sambal pedas memerah (Martin 2020:44-45). 

Pagi selepas dini hari itu, Naibaho mengenakan pakaiannya. Uyan mendampinginya menyeberang jalan dan membiarkan sejumlah tahanan  mengerubung “wartawan yang pernah menulis buku jurnalistik, dengan kalimat-kalimat cerdas tangkas, telah mewawancarai Ho Chi Minh dan yang menikmati puisi Prancis” (Martin 2020:45). Salah satu tahanan yang mengelilingi Naibaho adalah Martin: 

Bajunya saya lepas perlahan sekali supaya kulitnya tak ikut mengelupas. Darah yang belum sempat mengering menempel di bajunya. “Apa yang mereka tanya? Editorial Harian Rakjat yang tanggal 2 Oktober?” sapa saya ketika dia sudah sadar bahwa saya bekas reporternya.

“Sudahlah … ,” jawabnya lirih.

“Kalian anak-anak muda tidak terlibat. Semua itu tanggungjawab saya,”

Mendengar kata-katanya itu, dan tidak ingin memperparah nyeri yang dia tanggungkan, saya tidak lagi melanjutkan pertanyaan. Dia sudah memberikan kata akhir untuk pekerjaan yang bukan dia lakukan.   

Saya sambut jawabannya itu sebagai sikap seorang moralis sejati, penakluk rasa takut, yang mengambil tanggungjawab atas perbuatan, yang saya yakini, bukan dia yang melakukannya. Bukan dia yang  menulis editorial  2 Oktober 1965 itu!   

Martin 2020:46

 Setelah penyiksaan, Naibaho didudukkan di depan pintu ruangan isolasi yang menempel di ruangan utama di mana para tahanan dirumahkan. Ia diminta membelakangi seseorang yang mendekat dan membawa segenggam beras serta sejemput kencur. Orang itu seperti berbisik-bisik membacakan doa. Lalu ia mengunyah beras dan kencur tadi. Campuran kencur, beras, dan ludah itu kemudian dibalurkan ke sekujur kulit belakang Naibaho. Baho tidak mengeluh. Meringis juga tidak.

Menurut Uyan, si pesakitan tak jarang kembali diinterogasi manakala ramuan primitif itu masih belum kering benar. Kalau tidak mengaku pada apa yang dituduhkan, korban disetrum lagi, dicambuk lagi untuk memperdalam luka yang masih menganga (Martin 2020: 49-50).

Menjelang akhir 1966, kamp sudah menampung 200 tahanan politik. Secara kumulatif sudah ada 500 tahanan sejak Oktober 1965. Sekian banyak telah dipindahkan ke pusat-pusat lain. Para interogator menganggap sejumlah 20 tahanan sebagai tahanan kunci untuk membongkar jaringan mereka yang sedang diburu (Martin 2020:87).

Sujono Pradigdo, kepala komite verifikasi CC PKI disimpan dalam sel selebar 1 meter. Sebuah lapangan kecil berpasir dan kerikil merah memisahkan dia dari garasi yang mengurung belasan anggota Biro Khusus partai yang rahasia, sebuah jaringan yang Sujono beberkan kepada para interogator. Kelompok klandestin ini melapor langsung ke Aidit. Tugasnya ialah menyusupi angkatan bersenjata dan membina jajaran perwira, bukan untuk menjadikan mereka kader partai melainkan untuk mengorientasikan mereka pada pola pikir partai. Syam Kamaruzzaman, kepala penuh teka teki Biro Khusus itu, di waktu kemudian membual unitnya “berjalan dengan lancar” di tujuh provinsi. Biro itu berkontak secara teratur dengan 250 perwira di Jawa Tengah, 200 di Jawa Timur, lebih dari 40 di Jakarta, lebih dari 30 di Sumatra Utara, 30 di Sumatra Barat dan 30 di Bali (Crouch 1988:83).   

Syam dibawa masuk ke kamp dalam sebuah mobil Volkswagen hasil rampasan dari seorang tahanan. Tubuhnya sedang, kulit sawo matang pekat, mengenakan peci. Martin melihatnya dua kali dan mencatat bahwa banyak percaya dia menjadi agen ganda, menjerumuskan ketua partai Aidit yang memberikan kepercayaan kepadanya (Martin 2020:100). Mahkamah Militer Luar Biasa memutuskan hukuman mati bagi Syam.

Lembar Hijau – hidup setelah tahanan

Sersan Mayor Uyan menjulurkan kepalanya yang plontos di pintu sel. “Dipanggil,” ujarnya tersenyum memamerkan giginya yang besar-besar.

Di ruangan komandan Operasi Kalong, kepala staf Letnan Dua Syafei bertanya kepadaku: “Lan, kalau dipulangkan mau ke mana?” 

“Tak tahu, Pak. Mungkin ke Gondangdia Lama Dalam tempat saya kos dulu,” jawab saya sekenanya.

Syafei tersenyum. Saya membaca sebuah ejekan atau sindiran lirih di antara bibirnya. Sudah tak mungkin menginap di rumah yang sudah sejak lama diincar. Rumah yang sudah disama-sebangunkan dengan Sobron Aidit, adik D.N. Aidit, yang pernah kos di rumah itu sebelum berangkat ke Beijing untuk menjadi dosen Bahasa Indonesia pada 1963. Rumah dengan penghuni ada yang wartawan, sastrawan, dosen, guru, staf organisasi kaum peranakan Tionghoa itu barangkali sudah sejak lama dibiarkan sebagai perangkap untuk menjaring mereka yang harus dibekuk suatu saat.

Syafei kemudian menyodorkan selembar fomulir hijau muda dan menyuruh saya untuk mengisinya. Inilah berita acara resmi saya. Saya tuliskan nama saya, tempat/tanggal lahir, pekerjaan: wartawan Harian Rakjat. 

Satu pertanyaan minta tahu alasan ditahan. Saya biarkan kosong. Syafei tidak menanyakan mengapa tidak diisi. Di bawah sekali samar-samar dalam ingatan saya, ada tulisan “tidak terlibat G30S/PKI”.

Martin 2020:104-105

Mantan tahanan politik membawa kartu tanda penduduk, KTP. Di sudut bawah kiri tertera huruf-huruf ET: eks tapol, mantan tahanan politik. Banyak tapol menghadapi cap buruk dan bersusah payah mendapat tempat kerja. KTP Martin tidak bertanda ET. Ia mengaku ia bukan pengemban kartu anggota PKI atau ormasnya (wawancara Mei 2020).   

Satu minggu kemudian saya dipanggil masuk lagi. Syafei berkata Rudewo, seorang rekan tahanan yang dibebaskan lebih dulu,  tak keberatan untuk menampung saya kalau sudah dibebaskan (Martin dibebaskan Mei 1967, delapan bulan setelah ditangkap).

Saya dibebaskan! Saya terakhir dari   empat sekawan malam sate jamuan terakhir yang ditahan di kamp. Iskandar, Putu dan Arifin tak tahu entah di penjara mana.

Martin 2020:104-105

Martin tak pernah diinterogasi. Ia hanya ditanya soal pekerjaannya. Secarik kertas ditemui pada pakaiannya. Hal ini kemungkinan membujuk para interogator untuk berpikir Martin tak mengancam. Secarik itu adalah surat wasiat kedua orang tuanya yang menjelaskan pembagian harta bagi setiap anak mereka, sebelum mereka berangkat berlayar naik haji. Setelah dibebaskan, Martin harus melapor ke markas Kodim 0501 seminggu sekali (Martin 2020: 104-106).

Harta miliknya yang ia bawa keluar dari kamp sepasang pakaian dan sarung di dalam kertas koran bekas diapit ketiak.

Martin meninggalkan pusat tahanan dan berdiri di tepi Jalan Thamrin, jalan selebar 12 jalur, berjalan lima menit ke luar kamp. Ia merasa seperti memasuki sebuah kamp konsentrasi yang lebih besar. Sebuah penjara tak bertepi, ditutup langit (Martin 2020:106).

Ia sadar ia tak berkawan. Semua sudah diringkus. Tujuan pertama ialah Jalan Bahari di daerah Ancol, Jakarta Utara, 3 km jauhnya. Di depan sebuah gubuk bambu dengan empang ikan di kiri kanannya: rumah ini milik Rudewo, mantan majikan Martin. Rudewo memiliki usaha percetakan di mana Martin bekerja sebagai korektor. 

Setelah bekerja kurang dari satu tahun di percetakan Rudewo, Martin tak dapat menahan kerinduannya pada Sri yang berada  500 km jauh di Solo. Ia minta markas Kodim alamat rumahnya (Sri pun ditahan dua bulan). Setelah surat menyurat, Sri dengan gembira menyambutnya di Solo. Pada kunjungannya ketiga, satu tahun setelah dibebaskan, Martin dan Sri kawin tanpa hura-hura pesta. 

Di Tempo

Martin mau kembali ke dunia menulis.

Untuk ini, ia memakai nama baru. Sebagai reporter HR, namanya Nurlan, nama kelahirannya. Sekarang ia menggantikan nama menjadi Martin Aleida. Nama pertama diambil dari Martin Luther, jurureformasi Kristen abad ke-16. Nama kedua, Aleida, diambil dari Melayu pesisir dan berarti takjub dan menghormati. 

Ekspres, sebuah majalah berita mingguan baru terbit 1970, didanai Nurman Diah, putra mantan duta besar di Thailand dan mantan Menteri Penerangan B.M. Diah. Djufri Tannissan, seorang rekan pelukis, berkata ke Martin majalah itu kurang reporter. Untuk dapat kerja, Martin hendaknya menemui pemimpin redaksinya, Goenawan Mohamad  — dua tahun lebih tua dari Martin dan sudah punya nama dalam bersyair dan sebagai penandatangan Manifes Kebudajaan yang pernah terlarang.  

Penugasan pertama Martin, dari redaktur agama Syu’bah Asa, ialah untuk menuliskan laporan tentang pengaruh pengeras suara terhadap kekhusukan  umat yang sedang melaksanakan ibadah lima waktu.  Setelah sebulan bekerja sebagai reporter, Martin menerima honorarium Rp 6000. Tidak cukup untuk keluarga sudah beranak: Martin berpisah dengan majalah itu. 

Tak lama kemudian, Ekspres kena imbas perpecahan dalam kepemimpinan PWI, hal mana mendorong berpisahnya Goenawan dan sekelompok wartawan. Mereka mendekati Gubernur Ali Sadikin dan pengusaha properti Ciputra untuk mendukung penerbitan baru. Lahirlah Tempo dengan Goenawan sebagai pemimpin redaksinya. Martin bergabung Januari 1971. 

Majalah itu tumbuh pesat dan rekam jejak Martin tumbuh pula.  Ia mengantongi honorarium Rp10.000 perbulan. Ini lebih menggairahkan. Tiras Tempo naik dari 12.500 pada 1971 menjadi 151.000 per minggu pada awal 1980an.

Martin meliput ragam penugasan tetapi tidak politik. Setiap edisi ada lembar kata dari redaksi untuk menjelaskan bagaimana sebuah berita ditulis dan oleh siapa. Staf redaksi berobsesi untuk tampil di halaman ini tetapi Martin menghindarinya. Ia tak mau mengundang penguasa pada dirinya.

Tetapi, sebuah foto Martin bersama rekan reporter Yusril Jalinus dan Herry Komar muncul. Martin menerima surat agar melapor ke kantor Operasi Kalong di Jalan Gunung Sahari III. Pada meja interogator ada majalah Tempo, terbuka di halaman yang muat foto tersebut. Jurusidik Sartono, seorang LEKRA, mau tahu bagaimana seorang reporter HR berhasil dapat kerja di majalah berita paling populer, Tempo.

Martin menggambarkan kerjanya sejak ia dibebaskan. Interogasi berjalan dua jam dan berakhir ketika komandan Operasi Kalong masuk, mengenakan jaket hijau yang menutup nama dan pangkatnya.

“Apa saya harus keluar dari Tempo, Pak?” Saya beranikan diri memancing sikap sang komandan.

“Tak usah. Teruskan pekerjaan Saudara di situ. Majalah yang bagus.” Suaranya datar dengan mata terus tertancap ke halaman Tempo. Lantas dia meninggalkan Sartono dan saya pesakitannya. 

Martin 2020:193

Tempo beri Martin nafkah hidup nikmat. Perusahaan menghadiahkan staf dengan masa kerja 10 tahun sebuah rumah berharga 20 kali lipat gaji bulanan: Martin menerima rumahnya dalam waktu kurang dari 10 tahun. 

Saya sudah berusaha sekuat-kuatnya memberikan yang terbaik untuk Tempo, sementara dari dia saya menerima kembali dunia saya yang hilang, kata-kata, jurnalisme.

Martin 2020:216

Ketidakadilan

Dalam bukunya secara berulang-ulang, Martin mengangkat ihwal penahanannya yang tidak adil dan mempertanyakan apa pula dasar hukumnya, serta juga bagi kawan-kawannya.   

Mereka disiksa karena pilihan hidup mereka untuk menjadi anggota atau simpatisan organisasi yang sah. Seperti menjadi redaktur majalah kebudayaan Zaman Baru yang resmi, lantas menjadi reporter koran yang sah, Harian Rakjat. Bukan selebaran gelap di bawah tanah. Peradaban benar-benar diinjak-injak di depan para pesakitan yang seharusnya diperlakukan sebagai tahanan politik, karena mereka memang dibuang ke situ akibat dari satu bencana politik.   

Martin 2020:51

“Budaya Baru” yang diperkenalkan orde militerisme Jenderal Soeharto adalah penumpasan komunis, dan kaum progresif lainnya, sebagai musuh “sampai ke akar-akarnya”. Seruan yang terus-menerus didengung-dengungkan para perwira angkatan darat, melebihi azan yang lima waktu.

Martin 2020:38

Dengan ribuan tahanan yang mendekam di dalam kamp, dan berbagai penjara di seluruh negeri, negara ini bukan lagi negara hukum melainkan negara hukuman.

Martin 2020:115

Pulau Buru tidak hanya soal 12.000 tubuh manusia yang dipencilkan dan disiksa dengan kerja paksa. Dia juga kuburan untuk bakat-bakat yang telah membesarkan kebudayaan Indonesia dengan cara dan sikap hidup mereka masing-masing. Saya beruntung dengan Tempoyang membukakan halaman-halamannya lebar-lebar untuk kemampuan saya, yang jauh berada di belakang mereka yang otak dan tangannya seperti dicuci dan diborgol selama lebih dari satu dasawarsa. Bakat adalah takdir. Dia tak bisa dilumatkan walau raga diasingkan dengan kekerasan yang terus ditodongkan.

Martin 2020:225-226

Martin sama peka terhadap hal adil. Pemerintah pada 1979 sudah membuat kosong kamp Pulau Buru itu yang berisi 12.000 tahanan. Salah satu tahanan yang dibebaskan adalah Pramoedya Ananta Toer setelah dibui selama 14 tahun. Buku empat jilid sejarah Indonesia setengah fiksi semasa jajahan Belanda, Bumi Manusia, dikarang di Buru dan memenangkan pujian dunia, bahkan telah difilmkan 2019.  

Goenawan Muhammad
Goenawan Muhammad, 2000an

Pada pembebasan Pramoedya, pemimpin redaksi Tempo Goenawan Mohamad mengarang kolom kritis mengenai penulis itu, seorang pemimpin LEKRA dan pendukung setia Nasakom. Pramoedya telah mengutuk Manifes Kebudajaan sebagai kelompok liberal dan pro-Barat; Goenawan Mohamad adalah seorang penandatangan manifes itu. Ia memperlihatkan naskahnya – sekitar lebih dari setengah halaman – kepada Martin. Martin menyarankan demi kepentingan keseimbangan, karena Pramoedya dilarang menjawab, naskah itu layaknya diperlihatkan ke Pramoedya sebelum diterbitkan.  Goenawan tampak memutuskan naskahnya untuk tidak terbit, agaknya untuk menghormati martabat seorang yang telah dirampas kebebasannya untuk berekspresi.

Pada Juni 1984 Martin meninggalkan Tempo (Martin 2020: 255), karena tak merasa nyaman dengan adanya sengketa di dalam majalah, dan lalu menjadi juru penerang di Pusat Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta.

Fiksi dan Non-fiksi                        

Martin menulis fiksi maupun non-fiksi. Di samping dua novelnya, ia telah menulis cerita pendek untuk majalah budaya Horizon, majalah hiburan Jakarta Matra dan di harian-harian KompasMedia IndonesiaSuara Pembaruan dan Koran Tempo. Satu cerpen telah diterjemahkan ke bahasa Prancis dan Inggris. 

Peristiwa 1965 dan pengalaman eksil-eksil Indonesia melatarbelakangi banyak cerpennya. Misalnya, Tanah Air  — yang memenangkan hadiah cerpen pada 2016 dan uang Rp 13 juta bagi Martin – adalah mengenai seorang eksil Indonesia di negeri Belanda yang rindu pulang tetapi tak bisa. Ia meninggal atas tangan sendiri karena depresi dengan melompat dari lantai 8 apartemennya. Polisi menemukan dia menggenggam tanah dari Indonesia dibungkus dalam bendera merah putih.  Sama halnya,  bukunya yang  terpuji terbit 2017 Tanah Air Yang Hilang,  menggambarkan kehidupan eksil di Eropa. 

Cahaya pada lembar gelap

Martin Aleida mengarungi hidup sepanjang selembar gelap dalam sejarah politik Indonesia. Ia tidak menderita siksaan fisik dan pembuangan ke pulau jauh. Ia juga tidak mendapat cap buruk sebagai mantan tahanan politik sejauh yang dirasakan tapol lainnya. Tetapi, sama-sama dengan semua yang terjerembab dalam pembersihan tahun 1960an, ia menderita ketidakadilan. Martin mengaku ia bukan pengemban kartu anggota PKI dan ia bukan komunis. Namun ia dihakimi berdasarkan implikasi.   

Cover of Romanticism in the Years of Violence by Martin Aleida
Romantisme Tahun Kekerasan, Sebuah Memoar Martin Aleida

Tanggapannya terhadap apa yang dipandang tidak adil itu ialah dengan bertindak merekam dan melaporkan, dalam memoar dan juga dalam karya fiksi dan non-fiksi, konsekuensi suram 30 September 1965. Karyanya merupakan upayanya melawan lupa dan mempijarkan cahaya pada lembar  gelap itu. 

Daftar Buku Ringkas  

Martin Aleida adalah sastrawan subur berlahan kata-kata baik dalam berkarya fiksi maupun non-fiksi yang berakar pada situasi pribadi orang yang didampak peristiwa-peristiwa terkait dengan Gerakan 30 September 1965. Di bawah ini sekelumit contoh karya Martin sejak dibebaskan sebagai tahanan politik 1967.

Sekumpulan 17 cerita pendek berada dalam buku Leontin Dewangga (Kompas Media Nusantara, Jakarta  2003).Tiga judul pertama berlatar peristiwa 1965 .

Malam Kelabu adalah kisah seorang pemuda dari Sumatra Utara yang menempuh perjalanan jauh ke sebuah desa di bantaran Bengawan Solo di Jawa Tengah untuk meminang gadis setempat. Ia menemukan keluarga gadis itun telah menderita pengalaman memilukan. Seorang pelarian PKI ditemukan di rumah mereka. Pelarian itu dibacok dan rumah keluarga itu dibakar habis.  

Leontin Dewangga bercerita tentang lelaki muda dari Aceh yang ditangkap menyusul peristiwa 1965 atas tuduhan ia anggota sarekat buruh industri film yang berafiliasi komunis. Ia diselamatkan spucuk surat dari ayahnya yang ditemukan dalam kantong pemuda itu yang menyatakan sang ayah itu sedang siap naik haji dengan menumpang kapal laut. 

Lelaki muda itu berjalan ke daerah Bungur di Jakarta dan berjumpa dengan perempuan muda, Dewangga, yang menjadi isterinya. Isterinya itu terserang kanker dan berjuang bertahan hidup. Sang lelaki berkata jujur kepada isteri bahwa ia mantan tahanan politik. 

Mendengar cerita suami, sang isteri minta suami membuka leontin yang digantungkan seputar lehernya. Si suami membuka leontin itu dan menemukan gambar bulan sabit merah, lambang gerakan tani tanpa tanah yang mengadakan aksi sepihak merebut lahan tani berdasarkan undang-undang agraria. Leontin itu diberikan kepada Dewangga oleh ayahnya sebelum ia menghilang pada 1965 dan tidak pernah kembali lagi. 

Ode bagi Selembar KTP adalah cerita seorang perempuan yang dipenjarakan di kamp konsentrasi untuk wanita di Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Cap buruk dibuat permanen bila orang diduga terlibat G30S memegang KTP yang dicap ET yang berarti sang pemegangnya itu eks tahanan politik. Perempuan itu menjual warisan dari ayahnya. Dengan uang itu, ia menyogok dengan jutaan rupiah pengurus desa agar memperoleh KTP bebas cap ET.

Pada 2013, Martin menerbitkan Langit Pertama, Langit Keduasatu himpunan esai, kritik, resensi buku. Satu tulisan ialah kupasan  25 halaman atas Wars Within,buku 2005 tentang Tempo karangan Janet Steele, seorang gurubesar Amerika bidang jurnalisme di George Washington University

Referensi

Abdurrachman Surjomihardjo Ed. 1980. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Deppen RI, LEKNAS-LIPI, Jakarta

Crouch, Harold. 1988. The Army and Politics in Indonesia. Cornell University Press, Ithaca

Hill, David T. 1994. The Press in New Order Indonesia. UWAP, Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change, Pustaka Sinar Harapan

Legge, J.D. 1973. SukarnoA Political Biography. Pelican Books, Suffolk

Martin Aleida. 2020. Romantisme Tahun Kekerasan, Memoar Martin Aleida. Somaling Art Studio, Jakarta Timur

Martin Aleida. 2003. Leontin Dewangga, Kumpulan Cerpen. Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Martin Aleida. 2003. Langit Pertama, Langit Kedua. Nalar

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. PN Balai Pustaka, Jakarta

Ricklefs, M.C. 1982. A History of Modern Indonesia. The Macmillan Press, Southeast Asian Reprint, Hongkong

Roosa, John. 2006. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia. The University of Wisconsin Press, Madison, USA

Taufik Abdullah. 2009. Indonesia Towards Democracy. ISEAS, Singapore

Wawancara daring dengan Martin Aleida dari 2 Mei hingga 26 Mei 2020

Related Articles