Zona Merah: Ancaman dan Pembunuhan Jurnalis di Sumatra Utara

Sumatra Utara memiliki catatan angka kekerasan terhadap jurnalis, termasuk pembunuhan jurnalis, tertinggi di Indonesia. Mayoritas perusahaan media enggan memberikan bantuan bagi jurnalisnya, sementara polisi menempati posisi tertinggi sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

Artikel ini merupakan bagian dari serial Media Freedom Voices.

Peringatan: Artikel ini memuat cerita tentang pembunuhan.

Sehari sebelum dibunuh, seorang jurnalis di Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara, Marsal Harahap (42), mengajak istrinya, Bonia, beserta kedua anaknya makan malam di sebuah restoran. Marsal mengabadikan momen tersebut dengan kamera ponselnya dan mengunggah foto-foto tersebut di akun Facebook pribadinya.

“Selama 16 tahun kami menikah, dia tidak pernah menunjukkan gambar kami [di media sosial] karena dia tidak pernah ingin orang tahu tentang keluarganya,” ujar Bonia kepada New Naratif. 

Salah satu alasan Marsal tak pernah mempublikasikan foto keluarganya adalah kekhawatirannya apabila pekerjaannya akan berdampak atau membahayakan keluarganya. 

Dalam perjalanan pulang dari restoran, Marsal dan istrinya tak melihat ada tanda apapun yang mungkin membahayakan mereka.  Sekembalinya di rumah, Marsal pun kembali beraktivitas. Keesokan siangnya (18/6/2021), Marsal pamit kepada istrinya untuk bekerja. Ia memerhatikan wajah istrinya dari dalam mobilnya, hal yang biasa Marsal lakukan sebelum berangkat kerja. Namun, Bonia masih ingat bagaimana hari itu, Marsal melihat wajah Bonia lebih lama dari biasanya.

Marsal bekerja untuk media daring lokal bernama Lasser News di Pematang Siantar. Mayoritas tulisannya mengangkat isu korupsi, narkotika, dan judi.

Marsal dan keluarganya tak berkomunikasi sepanjang hari itu. Sekitar pukul sepuluh malam, salah satu anak Marsal mengirimkan pesan dan meminta Marsal membelikan vitamin untuk Bonia. Marsal sempat mengiyakan permintaan anaknya lewat pesan singkat.

Satu-satunya kejanggalan yang terjadi malam itu adalah Marsal tak menghubungi Bonia untuk menanyakan apakah Bonia mau menitipkan makanan atau tidak, sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh Marsal.

Jam telah menunjukkan pukul 11.30 malam, tetapi Marsal tak kunjung kembali. Bonia masih bersantai menonton televisi sementara anak-anaknya sedang mengerjakan tugas sekolah. Bonia tak terlalu mengkhawatirkan Marsal karena berpikir Marsal masih sibuk bekerja atau sedang bersama rekan-rekannya. 

Tak lama kemudian, ada telepon masuk dari tetangganya. Tetangganya menyampaikan bahwa mobil Marsal berhenti di tepi jalan dekat tiang tower telekomunikasi. Lokasi tersebut dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 5 menit dari rumahnya. Bonia pun memutuskan untuk mendatangi lokasi Marsal. 

Kaca mobil Marsal terbuka. Marsal tampak terkulai lemas di jok mobil dan bersimbah darah. Terdapat luka peluru di pahanya.

“Ketika saya tiba di sana, dia masih hidup, masih sempat bicara walau suaranya sangat pelan. Lalu tiba-tiba dia menangis, tapi tidak bicara dengan suara kuat, sehingga tidak jelas dia mengatakan apa. Beberapa kali dia muntah, lalu saya membuka bajunya,” kisah Bonia. 

Beberapa tetangga yang tinggal di sekitar titik mobil berhenti turut mendatangi Bonia dan Marsal. Mereka juga membantu mengantarkan Marsal ke rumah sakit di Kota Pematang Siantar, sekitar 30 menit perjalanan dari lokasi tersebut. Bonia tak turut mengantarkan karena harus menjaga kedua anaknya di rumah.

Marsal pun menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit. Saat mendengar kabar tersebut, Bonia sempat terduduk lemas dan berharap kabar itu tak nyata.

“Perasaan bercampur aduk. Sangat berat menerima kenyataan itu,” katanya.

Kematian Marsal masih sangat berdampak bagi keluarganya hingga hari ini. Bonia harus menggantikan posisi Marsal sebagai tulang punggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anaknya.

Zona Merah

Pembunuhan Marsal dipicu sejumlah berita yang ditulisnya tentang dugaan aktivitas penjualan narkotika di tempat hiburan malam bernama Ferrari saat masih diberlakukannya pembatasan aktivitas karena pandemi Covid-19. Marsal menuliskan setidaknya 11 berita tentang masalah tersebut. Berita terakhirnya terbit beberapa jam sebelum dia ditembak mati. 

Pembunuhan berencana tersebut diperintahkan oleh Sudjito, pemilik Ferrari,. Sudjito menyuruh dua orang, Yudi dan Awaluddin, untuk menembak Marsal. Atas penembakan tersebut, Sudjito dan Yudi berakhir dengan hukuman penjara 20 tahun, sementara Awaluddin meninggal dunia sebelum adanya putusan pengadilan.

Bonia merasa kecewa dengan putusan akhir yang sebatas hukuman 20 tahun penjara—jauh lebih ringan dari tuntutan awal yakni hukuman seumur hidup. Namun, Bonia merasa tak mampu berbuat apa-apa atas kasus ini.

Kolase oleh E.M. & New Naratif.

Kasus pembunuhan Marsal Harahap merupakan cerminan buruknya kondisi kebebasan pers di Sumatra Utara. Sepanjang 2018 sampai 2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan mencatat ada 20 kasus terkait kebebasan pers di Sumatra Utara, termasuk intimidasi, pembakaran rumah, penganiayaan, dan pembunuhan wartawan.

Divisi Advokasi AJI Indonesia mencatat Sumatra Utara sebagai zona merah, dengan angka kekerasan terhadap jurnalis paling tinggi, yakni 329, atau sekitar sepertiga dari seluruh angka kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat di Indonesia (998 kasus) dari tahun 2006 hingga Juni 2023. Kemudian diikuti dengan Jakarta (140), Jawa Timur (92), Sulawesi Selatan (62), Jawa Barat (60), dan Papua (47). 

Angka kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia mengalami peningkatan dari 43 kasus (2021) menjadi 61 kasus (2022). Angka kekerasan juga sudah mencapai 42 kasus di pertengahan 2023. Tren pola kekerasan berupa intimidasi, pemukulan, pembungkaman dengan cara memaksa (seperti menghapus dokumentasi liputan), dan serangan digital.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, menyampaikan bahwa ada perbedaan pola kekerasan atau serangan terhadap jurnalis yang terjadi di kota-kota besar dan daerah.

“Di kota-kota besar, seperti Jakarta, pola yang semakin sering terjadi adalah serangan digital, baik langsung terhadap jurnalisnya, maupun medianya, antara lain berupa doxing, peretasan akun WhatsApp jurnalis dan media,” jelas Erick.

Sementara, pola kekerasan yang terjadi di daerah adalah intimidasi atau ancaman kekerasan fisik (pemukulan atau penganiayaan) dan ancaman pembunuhan, sebagaimana yang banyak terjadi di Sumatra Utara.

Kondisi ini diperburuk dengan mayoritas media yang masih memberikan upah terhadap jurnalis secara tak layak. Kegagalan perusahaan media dalam memberikan perlindungan dan upah yang layak mendorong peningkatan pelanggaran etik yang dilakukan oleh jurnalis, termasuk pemerasan, atau meminta uang kepada narasumber sebagai syarat agar sebuah berita atau informasi tak dipublikasikan. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua AJI Medan Christison Sondang Pane atau Tison. Tison berkata,

“Saya lihat, akar permasalahannya adalah masih lemahnya kontrol, pengawasan, dan penerapan [perlindungan] perusahaan media terhadap pekerjanya. Masih banyak perusahaan media tidak serius mengawasi jurnalis-jurnalisnya dalam penerapan kode etik, akibatnya kondisi itu dimanfaatkan pekerjanya di lapangan [untuk] memeras.”

Tison menyampaikan bahwa kondisi tersebut kerap mempersulit advokasi kekerasan terhadap jurnalis di Sumatra Utara.

Eka Azwin Lubis, Koordinator Bidang Advokasi AJI Medan saat kasus Marsal terjadi, menyampaikan bahwa Marsal sudah tiga kali berhadapan dengan hukum saat menjalankan kerjanya sebagai jurnalis. Marsal pernah dituduh melakukan pencemaran nama baik dan pemerasan.

Tak lama sebelum adanya kasus Marsal, AJI Medan turut menyelidiki kasus pembunuhan yang terjadi pada mantan jurnalis Maratua Siregar dan Maraden Sianipar. AJI Medan menemukan bahwa pembunuhan tersebut terjadi bukan karena keduanya melaksanakan kerja jurnalistik.

“Namun [kami] tetap mendorong kepolisian untuk mengungkap pelaku dan motif pembunuhan,” jelas Eka.

Eka menyampaikan bahwa dalam kebanyakan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumatra Utara, korban dan pelaku ternyata  saling mengenal. Namun, ketika terjadi konflik, pelaku menggunakan pendekatan kekerasan.

Catatan hitam lainnya terjadi kepada Persada Bhayangkara Sembiring, jurnalis yang juga pemilik media daring Jelajah Perkara di Sumatra Utara. Terdapat dua orang yang sempat menyiram wajah Persada dengan air keras pasca Persada menulis tentang masalah perjudian di Kota Medan. 

Dua orang tersebut diduga merupakan suruhan seorang bandar judi. Akibat kejadian tersebut, wajah Persada melepuh. Alih-alih melanjutkan proses hukum pada kasus penganiayaan tersebut, Polisi justru segera memproses tuntutan balik terhadap Persada dengan pasal pemerasan.

Kolase oleh E.M. & New Naratif.

Eka menegaskan sekali pun terdapat bentuk ancaman penerbitaan berita atau pemerasan oleh jurnalis, tak sepantasnya orang menggunakan kekerasan untuk menghentikannya.

“Ada langkah hukum yang bisa ditempuh apabila ada pihak yang merasa dirugikan oleh ulah segelintir oknum yang mengatasnamakan diri sebagai jurnalis,” ujar Eka.

Alih-Alih Melindungi, Polisi Justru Jadi Pelaku

Sekali pun Indonesia telah membentuk payung hukum untuk memberikan perlindungan kepada jurnalis pasca Reformasi 1998 lewat Undang-Undang Pers, implementasinya masih buruk. Aparat penegak hukum masih jarang memberikan perlindungan terhadap jurnalis lewat UU Pers. 

“Pihak yang bertanggung jawab itu [untuk mengadili masalah kekerasan terhadap jurnalis] adalah polisi. Kemudian penegak hukum, termasuk jaksa dan hakim di persidangan,” kata Erick. 

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Polisi menjadi pihak yang paling aktif melakukan kekerasan terhadap jurnalis. AJI Indonesia mencatat mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis adalah polisi, yakni 147 kasus (tahun 2006-tengah 2023).

Kondisi ini diperburuk dengan minimnya perlindungan dari perusahaan media yang mempekerjakan jurnalis di Sumatra Utara. Ketika terjadi kekerasan, umumnya perusahaan media enggan hadir untuk memberikan bantuan hukum terhadap jurnalisnya yang menjadi korban. Kata Tison,

“Harusnya, perusahaannya yang di depan [untuk] membela. Jangan hanya berharap pada organisasi profesi yang ada. Perusahaan jangan hanya bisa mempekerjakan, tapi tidak bisa memberikan perlindungan.”

Menurut seorang jurnalis senior isu politik dari Sumatra Utara, Jhonni Sitompul, kekerasan terhadap jurnalis kadang dilakukan karena adanya pihak yang berkuasa dan tak suka mendapatkan sorotan.

“Kadangkala, hanya karena seorang pejabat tidak suka disorot, dia kemudian menutup akses kepada jurnalis dan menggunakan kekuasaannya untuk menganiaya jurnalis,” ujar Jhonni.

Secara personal, Jhonni pernah mengalami ancaman kekerasan fisik, seperti “akan dipatahkan lehernya”, dan kekerasan fisik. Jhonni pernah mengalami pengeroyokan oleh Satpol PP yang diduga adalah suruhan pejabat pemerintahan. 

Kekerasan dari aparat penegak hukum juga pernah dialami oleh jurnalis lainnya, yakni Array Agus. Terdapat prajurit militer yang menganiaya Agus saat Agus meliput demonstrasi warga Sarirejo, Medan, Sumatra Utara.

Menurut Array, masih terdapat banyak aparat penegak hukum yang tidak memahami hukum pers, termasuk ketersediaan hak jawab atau hak untuk memberikan sanggahan atas informasi yang merugikan nama baik seseorang. Rendahnya pemahaman hukum di kalangan aparat membuat mereka memilih jalur lain, seperti intimidasi atau ancaman. Pungkas Array,

“Menurut saya kebebasan pers [di Sumatra Utara] sampai saat ini masih terbelenggu, apalagi ketika bersinggungan dengan aparat penegak hukum, polisi, maupun TNI.”

Apa Selanjutnya?

Related Articles

Responses