A person in visible in a train window. Flames engulf the environment behind them.

Laju

Himas memotret cerita yang amat indah tentang cinta, kehilangan, dan kerinduan. Sementara karyanya sebelumnya memotret dunia yang penuh potensi kebebasan di tengah berbagai tantangan, ceritanya kali ini mengisahkan tentang kehilangan dan kesepian yang harus ditanggung orang queer yang tidak punya banyak sumber daya, seperti kejahatan kebencian dan dampak eksploitasi lingkungan dalam keseharian mereka.

tentu aku tak sendiri
yang menatap belantara nisbi
melangkah keluar di jalan berduri
memikul punggung yang digenapi peluru
meninggalkan pintu yang tak akan menunggu 

Stasiun ketiga sebelum pemberhentian terakhir. Kla, dengan ransel gunung di punggungnya, bergegas menaiki gerbong kereta cepat. Tapi kursi telah penuh terisi. Lagi-lagi, ia mesti kembali berdiri. Kla berpegangan pada satu tiang, berusaha menopang tubuhnya yang menghadap pintu masuk.  

Gelap. Tak ada apa-apa selain pantulan dirinya yang tengah kesusahan berdiri, berdesakan dengan penumpang lainnya. Kereta mulai bergerak. Ruangan semakin terasa sesak. Sembari merasai pegal di punggungnya, pikiran Kla turut melaju. Berisik, seiring bising suara di sekitarnya.  

Kla kembali menatap pantulan dirinya pada pintu masuk, menelusuri satu demi satu bagian tubuhnya; menghidupi masa lalu. Ia berupaya mengingat-ingat tentang apa saja yang bisa ia ingat, sebagai bekal sebelum menyerahkan dirinya pada ibukota yang digdaya.

aku yakin aku tak sendiri
yang menggusur ingatan tentang jam pulang sekolah
kue ulang tahun
juga kucing peliharaan yang lucu
atau tentang setatak dan petak umpet
di lahan lapang
dan perkebunan yang mengganggu 

Kabur. 

Kla sudah lama bersiap. Jauh sejak Spe, anak kampung sebelah, ikut pesantren kilat di masjid dekat  rumah. Saban Ramadhan jadi hari-hari yang menyenangkan. 

Ia tahu ada yang tak beres. Entah apa namanya. Namun ia tahu ia akan dibedakan. Entah apa labelnya.  

Tujuh tahun setelah masa putih-biru, Kla makin mengerti bahwa tak banyak yang akan mengerti. Fantasi kota yang ramah dan aman berlarian riang di kepalanya. Diskusi bulanan yang menguatkan… pesta kostum yang menyenangkan… kebahagiaan sepanjang malam… semuanya terasa nyata dalam linimasa Twitternya.

Kla sudah bersiap, meninggalkan sumpek udara dan gersang tanah yang tak pernah berpihak  kepadanya, kepada Spe.  

aku tahu aku tak sendiri
yang temukan pelangi lebih pekat dari darah
tempat di mana umpatan berserah
lelah istirah
dan diri tak lagi terjajah 

Bertahan di tanah rural setara dengan penindasan yang kekal. Apa yang dinamakan natural bukan lagi jadi soal. Mereka pantas dipangkas, dieksploitasi, dan dikeruk korporasi. Mesin-mesin besar masih tetap ada, bahkan sudah ada jauh sejak ayah dan ibu Kla belum lahir.  

Kepungan asap masih ramai di sana-sini. Petanda bahwa orang-orang lebih suka luput memahami cara kerja alam. Mereka memilih sesak napas. Atau lebih tepatnya, mereka gemar melihat orang-orang aneh dan miskin sesak napas.

Kesekian kalinya di kampung mereka, kebakaran lahan gambut telan korban jiwa. Dan Kla masih di sini. Memandangi tubuh Spe yang diam.

Kla baru saja memberi tahu kepada kedua keluarga, bahwa Spe teman hidupnya, bahwa Spe adalah segalanya. Kla memutuskan berbicara, sebelum ia benar-benar pergi. Melaju pada yang tak pernah tentu.  

Tapi Kla tahu, ia akan melaju, dan terus melaju…


Baca cerita-cerita lainnya di season ini:

Related Articles

Responses