Tanda Bahaya dari Kalimantan: Keterkaitan Degradasi Lingkungan dengan Migrasi Internal

Selama 150 tahun, migrasi menyebabkan degradasi lingkungan di Kalimantan. Namun kini, nasib berbalik dengan kejam. Sekarang, kerusakan alam malah menjadi penyebab orang-orang di Kalimantan berpindah. Ancaman ini menanti kita semua, kecuali jika kita mau mengubah asumsi fundamental tentang sumber daya alam, nasionalisme, kolonialisme, kapitalisme, dan pembangunan.

“…Ketika masih kecil, … sekitar tahun 1985, katanya, Soeharto tidak akan ganggu-ganggu kami, apalagi hutan punya kami karena di situ sumber makan dan tempat kami mencari kayu untuk dijual, dan buah-buahan. Sekarang malah berubah sekali…”

Iwan

Iwan, 43, adalah anggota masyarakat adat di Kalimantan Tengah, salah satu provinsi di Pulau Kalimantan, Indonesia.[1] Pulau Kalimantan terbentang seluas 750,000 km2, dan menjadi salah satu titik dengan sumber daya alam terkaya di dunia. Penjarahan sumber daya ini, terutama dalam tiga puluh tahun terakhir, telah diketahui secara umum sebagai penyebab degradasi lingkungan yang memperparah krisis iklim.

Masalah ini kerap dianggap isu daerah: perusahaan ekstraktif datang ke Kalimantan dan menyedot sumber daya alamnya. Masalah yang tidak diketahui adalah bagaimana, bahkan sebelum ini semua terjadi, migrasi internal telah memainkan peran penting dalam dinamika degradasi lingkungan.[2] Pembangunan pemukiman dan perkebunan baru yang marak dan cepat selama beberapa dekade terakhir telah membawa perubahan ekologis yang marak dan cepat pula di pulau ini.

Di Kalimantan Tengah, degradasi lingkungan (terutama kerusakan hutan) secara intrinsik terhubung dengan pola migrasi internal Indonesia. Selama satu setengah abad, migrasi turut andil dalam menyebabkan kerusakan alam di Kalimantan. Namun kini, nasib berbalik dengan kejam: kerusakan alam menghalau orang-orang Kalimantan, seperti Iwan, untuk berpindah.

Artikel ini menjelaskan bagaimana degradasi lingkungan dan migrasi internal saling terkait di Kalimantan. Selain itu, artikel ini juga menilik asumsi penting yang mendorong terjadinya kedua hal tersebut. Asumsi ini termasuk mitos bahwa sumber daya alam “bebas diambil”, mitos tentang “negara” dan ideologi nasionalisme, penggunaan kata “pembangunan” sebagai cambuk yang menghalau orang-orang dari tanahnya, kolonialisme dan peran modal asing, serta penggunaan migrasi sebagai alat kebijakan.

Artikel ini menjelaskan bagaimana kriminalitas kehutanan terorganisir menjadi penyebab penggundulan hutan yang berlangsung selama lebih dari 150 tahun dan bagaimana transmigrasi telah mendorong degradasi hutan selama empat periode sejarah Indonesia—kolonialisme Belanda, Republik, Orde Baru, dan Pasca-Reformasi. Pada akhirnya, artikel ini menjelaskan bagaimana hubungan sebab akibat antara migrasi dan degradasi hutan telah bercokol di Kalimantan, mengancam populasinya dan membawa konsekuensi maut bagi kita semua.

Kriminalitas Kehutanan Terorganisir dan Mitos Sumber Daya Alam “Bebas”

Degradasi hutan terjadi dalam laju yang meresahkan sejak 2010, dengan kerugian bersih 4.7 juta hektar tiap tahunnya (FAO, 2020). Penyebab utamanya adalah konsesi lahan bagi industri ekstraktif, seperti sektor pertambangan, sawit, dan bahan bakar (Gaworecki, 2018). Situasi ini amat parah di (walau tidak terbatas pada) Asia Tenggara, di mana mayoritas ekonomi berkembangnya bergantung pada sumber daya alam. Menurut studi EU Science Hub (2019), sejak saat ini hingga 2050, hutan Asia Tenggara diperkirakan akan menyusut hingga 5.2 juta hektar tiap tahun akibat tambang, penebangan, dan sektor-sektor lain yang melibatkan aktivitas pembabatan hutan, yang kemudian menyebabkan migrasi manusia.

Sebagai salah satu ekonomi terkuat di Asia Tenggara, Indonesia berkutat dengan penggundulan hutan dan migrasi massal. Area hutan Kalimantan—bahkan area yang dilindungi—terancam deforestasi besar-besaran akibat kegiatan mega-korporasi asing, terutama dari Amerika Serikat dan Malaysia, yang punya anak perusahaan lokal. Perusahaan-perusahaan ini terus menghancurkan hutan di Kalimantan Tengah walau telah dituntut berkali-kali oleh pemerintah Indonesia. Beberapa kasus pembabatan lahan bahkan telah dibawa ke Mahkamah Agung Indonesia. Korporasi-korporasi ini, bersama dengan perusahaan-perusahaan lain, mengincar kekayaan mineral Indonesia yang amat besar. Dengan tamak, mereka menjelajahi hampir semua pulau di Indonesia dalam upaya menyedot keuntungan secara rakus.

Aktivitas mereka bisa dikategorikan sebagai apa yang dideskripsikan van Solinge (2016) sebagai kriminalitas kehutanan terorganisir karena mereka membabat hutan demi industri ekstraktif tanpa memperdulikan aspek-aspek sosio-ekologis yang ada. Kejahatan ini berbuntut panjang, mulai dari memunculkan masalah-masalah gangguan biofisik (efek perubahan iklim yang dirasakan secara lokal dan terpusat, serta rusaknya sumber mata air) hingga akibat sosial pada komunitas lokal (misalnya konflik lahan, kemiskinan, pengungsian, atau migrasi).

Aktivitas-aktivitas ini mengucurkan pundi-pundi keuntungan dengan deras karena mereka tidak membayar harga yang layak, sementara pemerintah (secara legal) meraup bagiannya sendiri lewat pajak dan investasi. Model ekstraksi ini mengasumsikan bahwa sumber daya alam “bebas diambil”, tergeletak di dasar bumi menanti seseorang mengambilnya. Padahal, seperti yang telah tercatat, harga yang dibayar untuk menyedot sumber daya alam ini dari bumi dan kemudian mengolahnya amatlah mahal.

Harga tersebut tidak dibayar oleh pemerintah, perusahaan, atau kapitalis—yang membuatnya amat menguntungkan bagi mereka. Harga ini, terwujud dalam bentuk kehancuran alam dan krisis iklim yang harus dibayar secara amat tidak adil oleh masyarakat adat dan ekosistem. Planet kita juga turut membayarnya.

150 Tahun Kejahatan Kehutanan

Seorang transmigran menunjukkan perencanaan area pemukiman di desanya. Sumber: Lengga Pradipta.

Hutan Indonesia dan produk-produk turunannya telah lama diminati akibat faktor-faktor geografis dan demografisnya yang spesifik. Sejak periode 1500an, Eropa mulai menjejakkan kaki di area ini untuk meraup untung langsung dari kekayaan alamnya.

Sejak 1595, Belanda melancarkan ekspedisi yang amat menguntungkan untuk mengakses rempah langsung dari kepulauan ini. Belanda kemudian menamai kepulauan ini sebagai Hindia Timur. Dalam rangka mencari untung sebesar-besarnya lewat monopoli dan melindungi kepentingan dagangnya, Belanda secara bertahap menguasai sebagian besar area di Nusantara. Akhirnya, di tahun 1800an, penjajahan mereka diformalkan menjadi Hindia Belanda. Dengan itu, Hindia Belanda diperintah secara langsung oleh tahta Belanda dan dilanggengkan lewat penaklukan sepanjang abad 19 hingga awal abad 20.

Eksploitasi amatlah penting bagi penjajah. Demi mengembalikan modal usaha penaklukan yang begitu mahal, mereka memberlakukan Cultuurstelsel (“Tanam Paksa”) di tahun 1930. Sistem ini memaksa petani Indonesia untuk menanami paling tidak 20% lahan pertaniannya dengan tanaman dagang, seperti nila, kopi, dan gula. Lengkah tersebut dengan efektif mengubah Jawa menjadi perkebunan demi mengisi kocek Belanda. Sistem ini amatlah menguntungkan bagi Belanda.

Di tahun 1870, setengah dari pendapatan negeri Belanda, sekitar 40 juta gulden, datang dari Jawa. 

Tentu saja, sistem Tanam Paksa sungguh eksploitatif dan menyiksa bagi populasi lokal, sampai-sampai para petani tidak bisa memberi makan keluarga mereka sendiri akibat dipaksa memenuhi kuota. Kematian, penyakit, dan bencana kelaparan merajalela.  Angka kematian pun melonjak hingga 30%. Sistem ini akhirnya dihapuskan di tahun 1870.

Namun, di saat yang sama, Belanda menyadari bahwa hutan adalah area yang amat ranum untuk dieksploitasi. Pedagang Belanda yang tiba dari abad 17 tergiur ribuan kilometer persegi hutan jati. Sepanjang abad 17 hingga 19, eksploitasi hutan yang dilakukan penjajah Belanda serta kontrol yang diberlakukan terhadap sumber daya ini makin meningkat. Eksploitasi dengan skala industrial dimulai setelah Aturan Kehutanan 1865 yang mempersilakan penebangan jati untuk kepentingan swasta.

Undang-undang yang disahkan tahun 1870 menyatakan area hutan yang “tak bertuan” adalah milik negara. Dampaknya membuat kaget masyarakat adat yang tinggal di tanah-tanah tersebut. Untuk menegakkan Undang-undang ini, sebuah badan dinas yang merupakan perpanjangan tangan negara didirikan untuk menetapkan batas antara hutan dan lahan perkebunan. Pasukan polisi berjaga untuk menghalangi akses masyarakat adat ke area pepohonan. Kepemilikan, hak guna, dan hak penguasaan atas sumber daya biasanya berlaku dan diakui di tempat-tempat tertentu, tergantung dari relasi kuasa yang dinamis antara negara, aparat yang mengelola hutan, serta perusahaan kayu dan orang yang tinggal di sekitar kawasan hutan (Peluso, 1992).

Eksploitasi hutan di Indonesia makin parah di periode pasca-kemerdekaan setelah pemerintah menghibahkan lebih banyak konsesi penebangan di tahun 1970an (Nawir & Rumboko, 2007). Peristiwa ini hanyalah satu mata rantai dalam rangkaian panjang sebab akibat, tetapi tetap memainkan peran penting dalam pertumbuhan industri kayu dan eksploitasi hutan yang makin meluas. Di tahun 1972, Indonesia muncul sebagai salah satu eksportir kayu keras tropis terpenting di dunia, bersaing dengan Malaysia di sektor yang sama di pasar global (Ruzicka, 1978). 

Ilustrasi oleh Konijn Sate.

Di samping eksploitasi hutan, pemerintah kolonial juga memindahkan manusia secara massal (Arndt, 1983) dengan tujuan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan memperluas kesempatan untuk eksploitasi sumber daya. Di antara 1905 dan 1940, program transmigrasi dimulai dengan tiga tujuan: 

  1. Memindahkan jutaan orang dari pulau yang lebih padat penduduk seperti Jawa, Bali, dan Madura, ke pulau-pulau dengan populasi yang lebih sedikit (Levang & Sevin, 1989)
  2. Mengentaskan kemiskinan dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi migran
  3. Menemukan sumber daya lain di pulau-pulau dengan populasi jarang

Namun, hanya ada sekitar 200,000 orang (dari kira-kira 30 juta populasi) yang direlokasi dari Jawa selama periode 35 tahun tersebut. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa perpindahan massal ini tidak bisa dianggap berhasil mengatasi masalah kepadatan penduduk.

Kebijakan yang dikenal sebagai Transmigrasi ini tetap dilakukan setelah Belanda hengkang. Sebagai presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno menaruh harapan besar pada program transmigrasi. Sukarno menggunakan transmigrasi sebagai alat politik. Ia menghadiahkan lahan di daerah-daerah yang dianggap “belum berkembang” kepada para pendukungnya, terutama anggota militer.

Di tahun 1951, ia menargetkan memindahkan 31 juta orang dalam jangka waktu 35 tahun (Prihatin, 2013). Namun, inisiatif ambisiusnya ini tidak pernah tercapai hingga ia dilengserkan di tahun 1965.

Selama “Orde Baru” di bawah Presiden Suharto (1966-98), transmigrasi digembar-gemborkan secara dramatis, mengakibatkan sejumlah besar orang berpindah ke Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan Papua Barat. Di tahun 1980an, dukungan finansial besar-besaran dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan donor bilateral membantu menggenjot program tersebut, memindahkan 3.5 juta orang ke situs-situs transmigrasi (Rich, 1994), mengubah wajah demografi lokal. Di Kalimantan, sekitar 230,000 keluarga dipindahkan dari Jawa di awal 1980an.

Hal ini juga mempengaruhi dimensi politik. Secara khusus, program ini diduga dirancang untuk mengendalikan dan memaksa asimilasi populasi adat di daerah yang disebut “pulau terluar”. Secara historis, istilah “pulau terluar” merujuk pada pulau-pulau Indonesia di luar Jawa dan Madura, seperti Papua, Aceh, atau Kalimantan. Istilah ini mengandung konotasi negatif yang menyiratkan keterbelakangan dan populasi rendah. Dengan diimpornya orang-orang Jawa dan Muslim, proses ganda “Jawanisasi” dan “Islamisasi” pun dimulai. Hal ini menyebabkan konflik yang runcing antara para transmigran dan orang adat—mirip dengan ekspor orang Cina Han ke area Tibet dan Uyghur di Tibet dan Xinjiang untuk tujuan asimilasi dan kontrol politik.

Program ini melibatkan “pengembangan” infrastruktur, di mana hutan-hutan dibabat untuk membuat sawah serta pembangunan jalan baru. Tujuannya, demi melancarkan ekstraksi serta ekspor kayu, mineral, dan bahan-bahan berharga lainnya. Ekspor praktik perkebunan pun muncul sebagai akibat sampingan dari transmigrasi.

Demi bertahan hidup, ketika berpindah, para migran Jawa turut memboyong teknik agrikultur di samping budaya dan tradisi mereka. Namun, teknik pertanian ini kerap kali tidak sesuai dengan kondisi lokal dan akhirnya berbuntut malapetaka ekologi. Contohnya, perbedaan jenis tanah di Jawa dan Sumatera menyebabkan tantangan irigasi dan halangan-halangan pertanian lain.

Figur 1. Sejarah singkat transmigrasi Indonesia.

Saat ini, selain sekedar menyelesaikan masalah “overpopulasi”, fokus migrasi adalah untuk memastikan ketahanan pangan, dengan tujuan utama untuk membuat Indonesia menjadi lumbung padi. Pemerintah Indonesia berupaya membentuk daerah tujuan transmigrasi, seperti Sumatra dan Kalimantan, menjadi daerah pertanian produktif, seperti Jawa. Daerah tujuan transmigrasi dipaksa menjadi pusat surplus beras lewat “program penanaman beras”.

Target ini terus digenjot, sampai-sampai di tahun 1974, Indonesia berencana mendongkrak produksi beras hingga 50 persen dalam jangka waktu hanya beberapa tahun saja. Akan tetapi, target ini gagal akibat kurangnya perhatian kepada kondisi ekologi dan tanah lokal.

Walau transmigrasi digembar-gemborkan sebagai instrumen kebijakan penyebaran penduduk yang penting bagi peningkatan kesejahteraan publik, program ini gagal memenuhi janji-janjinya (Adhiati & Bobsien, 2001). Aksi Solidarity with Asia and the Pacific (2019) menemukan laporan terkini bahwa transmigrasi ke “pulau terluar”, khususnya Kalimantan, memicu konflik antara transmigran dengan masyarakat adat. Sebaliknya, para migran bersikeras bahwa pemerintah memberi mereka akses lahan yang terbatas saja.

Hari ini, masyarakat adat masih kekurangan infrastruktur untuk mendukung kehidupan mereka (misalnya jalan raya, fasilitas kesehatan, dan sekolah), sementara status kepemilikan lahan mereka masih jauh dari aman; pemerintah lokal telah menerbitkan sertifikat tanah, tetapi masih amat sulit untuk mengklaim lahan tersebut (Lai et al., 2021). Lebih dari 60% dari hutan hujan utama di Kalimantan telah dibabat demi program transmigrasi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat adat kehilangan rumah dan sumber makanan mereka demi mengentaskan kemiskinan para petani yang kehilangan lahan garapan dan pemukiman akibat urbanisasi di Jawa. 

Ilustrasi oleh Konijn Sate.

Ini adalah kasus klasik gali lobang-tutup lobang. Namun demikian, lobang pertama tidak juga kunjung tertutup: kepadatan penduduk dan kemiskinan di Jawa tidak teratasi, tapi pelanggaran hak adat dan kehancuran hutan dalam skala besar terlanjur mengakibatkan kerusakan alam di Kalimantan. Berdasarkan pengalaman mereka, kedua pihak setuju: program transmigrasi tidak lebih dari alat politik untuk memamerkan kekuasaan (Sage, 2015).

Pemerintahan Orde Baru Soeharto tumbang di tahun 1998. Setelahnya terjadi periode reformasi di bawah pemimpin baru B.J. Habibie (1998-99). Walaupun program transmigrasi akhirnya dihentikan, pemerintahan pasca-Reformasi terus melanggengkan aspek-aspek transmigrasi lewat program pemerintah daerah, alih-alih lewat komando pemerintah pusat di Jakarta.

Hari ini, transmigrasi dikemas ulang dan dipasarkan sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi yang mencoba mengurangi keterpusatan di Jawa (Kemendesa RI, 2015). Untuk melancarkan ini, pemerintah Indonesia membuat kota-kota baru, mandiri, dan terintegrasi, lewat skema Kota Terpadu Mandiri (KTM), yang diatur oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. KTM bertujuan untuk mengindustrialisasikan seluruh lanskap dengan cara mengerahkan investor swasta dan asing dalam pengolahan sumber daya alam, sementara pemerintah daerah dan Kementerian menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan, ahli tata kota, layanan dasar, dan pekerja migran yang dibiayai pemerintah. 

Secara teori, jika dilakukan selama 15 tahun, skema ini dapat menciptakan kota-kota mandiri yang menyediakan distrik-distrik tambang, bubur kayu, dan minyak sawit (Jiwan & Colchester, 2020). Paling tidak setengah dari jumlah tenaga kerja di KTM seharusnya terdiri dari masyarakat setempat, dan setengahnya diisi oleh transmigran. Rencana ambisius Kementerian ini termasuk rancangan 186 KTM di “pulau terluar” dengan 25,000 keluarga yang bermigrasi tiap tahunnya (saat ini ada 48 KTM). 

Namun apa implikasinya untuk komunitas lokal? Sejauh ini, skema ini tidak terlalu banyak mendapat sorotan.

Namun demikian, Adhiati dan Bobsien mencatat dalam laporan mereka (2021) bahwa pertimbangan politik turut memicu pengemasan ulang ini. Program transmigrasi jalan terus walau diterpa kritik, salah satunya demi mendemonstrasikan komitmen Jakarta dalam melakukan pengetatan anggaran yang juga merupakan sebuah syarat yang diminta International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia jika kita ingin mendapatkan utang baru.

Paket perbaikan IMF yang pertama diketok di tahun 1998. Hal tersebut memaksa pemerintah Indonesia untuk membuka pintu lebih lebar untuk investasi asing di pengembangan lahan sawit. Pemeriksaan ekonomi oleh ADB dan Bank Dunia menekankan pada kesempatan ekonomi untuk produksi hasil tani berorientasi ekspor, namun meremehkan kerusakan lingkungan dan sosial.

Menurut penelitian oleh beberapa LSM Indonesia di awal 1990an, skema ekonomi yang didanai ADB berkontribusi pada deforestasi, polusi lingkungan, hilangnya keragaman hayati, meningkatnya resiko erosi, dan hilangnya tempat tinggal masyarakat adat. Petani terjebak dalam posisi rentan di hadapan pasar dunia yang menetapkan harga komoditas, serta terjerumus masalah kepemilikan lahan, korupsi, dan malpraktik, serta kesulitan membayar hutang mereka.

Merespon kritik atas konflik lahan dan kerusakan alam yang menjadi dampak transmigrasi, pemerintah Indonesia menetapkan prosedur yang mengharuskan situs target sebagai situs yang “bersih” (maksudnya, pembangunan tidak akan menyebabkan kerusakan, mengikuti aturan legal yang berlaku dalam akuisisi lahan, dan menghormati hak masyarakat yang telah tinggal di sana terlebih dahulu, termasuk masyarakat adat) dan “jelas” (bahwa situs yang diusulkan telah disurvey dan batasan-batasan telah ditetapkan) sebelum menetapkan pemukiman baru (Potter, 2012).

Walaupun proyek-proyek ini sekarang dikemas sebagai proyek tingkat daerah, penetapan situs-situs ini dilakukan atas dasar kepentingan nasional yang tunduk pada kekuasaan pemerintah pusat untuk mengambil alih lahan (Permenakertrans, 2007). Dengan konsesi yang dibuat seakan-akan mereka tunduk pada proses yang baik dalam memberi kompensasi pemilik lahan sebelumnya, proyek-proyek tersebut memaksa masyarakat adat memberikan persetujuan untuk memberikan lahannya.

Sayangnya, skema KTM masih membawa banyak masalah bagi orang adat, terutama dalam hal ambil alih lahan untuk pemukiman dan perkebunan (Barter & Côté, 2015). Buntut skema ini termasuk:

  • pengabaian atas kepemilikan lahan orang adat
  • kegagalan merawat hutan yang ada
  • konflik lahan antara pemukim migran dan perusahaan minyak sawit
  • kelangkaan lahan pertanian untuk menanam tanaman pangan demi penghidupan dasar
  • menunda-nunda pemberian hak dan kepemilikan tanah kepada petani kecil
  • memudarnya budaya dan tradisi setempat

Bentuk baru transmigrasi sebenarnya membawa sedikit keuntungan. Populasi umum, termasuk masyarakat adat, menyambut baik konstruksi jalan, kelistrikan, dan lapangan pekerjaan. Walau demikian, keuntungan ini datang dengan harga mahal yang harus dibayar oleh masyarakat adat. Dengan posisi KTM dianggap wajib, masyarakat setempat harus menyerahkan hutan dan lahannya, sementara para kepala desa ditekan untuk menandatangani surat persetujuan walau bertentangan dengan kehendak mereka (Colchester, 2017). 

Diskriminasinya terlalu jelas: para migran dari Jawa yang disponsori negara diberi rumah, jatah makanan, dan layanan lainnya atas nama “pembangunan nasional”, sementara warga setempat tidak mendapatkan tunjangan yang sama, walau dituntut untuk memberikan area pemukiman dan pertanian mereka. Hal ini menunjukkan seolah-olah orang Jawa adalah bagian dari “negara” sementara tidak dengan masyarakat adat. Maka, tidaklah mengejutkan jika tersebarlah persepsi bahwa kepentingan pendatang lebih diprioritaskan dibandingkan kepentingan orang adat. Menyebarnya persepsi ini didasari tiadanya pengakuan resmi atas hak masyarakat adat, yang berujung pada malapetaka ketidakadilan sosial.

Seritifikat tanah yang disediakan oleh pemerintah, namun hampir-hampir tidak memiliki kuasa apapun. Sumber: Lengga Pradipta.

Namun demikian, bahkan transmigran yang mendapatkan sertifikat tanah (salah satu contohnya digambarkan di atas) mendapati hak-hak mereka dilanggar. Pemerintah pusat terus memberikan Hak Guna Usaha (HGU) bagi para investor untuk bercocok tanam di lahan yang sertifikatnya dipegang oleh masyarakat setempat atau oleh para transmigran. Hak ini berlaku untuk waktu 35 tahun, tetapi bisa diperpanjang hingga 25 tahun (Undang-Undang Pokok Agraria, 1960).[3] Maka, hirarkinya menjadi jelas: transmigran didahulukan daripada masyarakat adat, namun kapitalis menang di atas keduanya.

Pemerintah dan sektor-sektor terkait lain telah gagal mempertimbangkan ketegangan sosial budaya, ketidakstabilan politik, dan bencana lingkungan yang membayangi kebijakan migrasi dan pembangunan daerah. Terlebih lagi, kebijakan transmigrasi dan pembangunan tetap disetir oleh hubungan timpang antara pemodal asing (kini telah berkembang di luar pemerintah dan perusahaan asing demi melibatkan organisasi neoliberal seperti Bank Dunia) dan pemerintah Indonesia, yang mendulang untung sementara masyarakat setempat dan lingkungan alam membayar harganya; serta dari perspektif Jawa-sentris, secara implisit memprioritaskan sudut pandang dan kepentingan para elit Jawa. Walau penjajahan formal telah usai, eksploitasi oleh penjajah di Kalimantan yang didanai pemodal asing dan pemodal dalam negeri terus berlangsung, kali ini dikomando oleh Jakarta, alih-alih oleh Den Haag.

Berbaliknya Sebab Akibat serta Krisis yang Terus Berlangsung

Sejak 2010, pola baru migrasi muncul dan makin menggarisbawahi krisis yang dihadapi Kalimantan. Sebelum 2010, temuan peta migrasi cenderung menunjukkan bahwa migrasi adalah penjahat di balik deforestasi karena migrasi menyebabkan perpindahan orang dari daerah urban ke daerah terpencil. Migran dari kota akan menduduki daerah yang berkelimpahan dengan sumber daya alam, dalam usahanya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk melakukannya, mereka akan merampok kekayaan hutan, yang akhirnya berbuntut pada kerusakan hutan.

Namun, temuan pasca-2010 menunjukkan hal yang terbalik: migrasi kini disebabkan oleh deforestasi. Temuan ini mengungkapkan perpanjangan dari krisis yang membayangi tempat-tempat seperti Kalimantan: eksploitasi sumber daya alamnya telah mencapai titik di mana ia tidak lagi dapat menyediakan penghidupan bagi masyarakatnya.

Dari 2010 sampai 2020, kerusakan hutan di Kalimantan terus berlanjut karena maraknya investasi di bisnis ekstraktif, seperti tambang dan industri sawit. Besarnya arus migran KTM, tidak hanya dari Jawa, namun dari area-area lain di Indonesia, didorong oleh kepercayaan bahwa Kalimantan adalah area yang menjanjikan perkembangan ekonomi (Santika et al., 2019). Lebih jauh lagi, ibukota baru Nusantara di Kalimantan Timur akan makin mendorong tren migrasi di masa depan. 

Konversi hutan ke berbagai alternatif alat produksi, seperti pertanian atau peternakan, menyebabkan hilangnya mata pencaharian dan kemiskinan, terutama ketika industrialisasi mengintervensi dan menyebabkan hilangnya lahan. Penggundulan hutan memperburuk degradasi dan perubahan iklim, berpotensi menyebabkan banjir, tanah longsor, atau bencana lain yang akhirnya menyebabkan relokasi lebih jauh. Masyarakat adat pun harus berpindah untuk mendapatkan tempat yang lebih aman.

Karena lahan hutan semakin menipis, Iwan terpaksa memutuskan untuk berpindah ke daerah lain di Kalimantan. Walau pemerintah menjamin bahwa hutan adatnya tidak akan diganggu, Iwan tetap menyaksikan perubahan yang amat drastis.[4]

… industri kelapa sawit banyak yang baru datang ke daerah ini, ditambah lagi banyak program dari pemerintah Indonesia, yang paling digembar-gemborkan adalah Kota Terpadu Mandiri (KTM). Katanya, kota mandiri yang bikin masyarakat enak. Gak tahunya, kita ini, sebagai orang kampung, malah terancam. Lima tahun ini, kalau dihiitung-hitung dan diingat-ingat, kami sulit mau cari uang dan makan, belum [lagi terdapat] bencana banjir. Kami sampai mikir mau pindah saja ke tempat lain, […] tinggal dekat TN (Taman Nasional) Betung kerihun. […] Walaupun saya tidak tahu mau bagaimana nanti, tapi setidaknya pergil dari sini…

Akan tetapi, masyarakat adat bermigrasi bukan hanya akibat kerusakan lingkungan hidup, namun juga karena mereka kerapdipandang tidak pantas memasuki lapangan pekerjaan yang tersedia di wilayah tersebut. Peneliti migrasi mencatat bahwa asumsi kelas dan ras mendorong perpindahan populasi serta menentukan tipe-tipe orang yang boleh memberikan kontribusi ekonomi (Ananta et al., 2021). Lulusan sarjana yang bermigrasi dari Sumatera ke Kalimantan, contohnya, dianggap sebagai “orang sukses” karena mereka bisa mendapatkan posisi sebagai karyawan tetap di perusahaan sawit.

Bagi Silmi, seorang pegawai perusahaan investor asing (PMA) yang terlibat dalam bisnis perkebunan sawit, Kalimantan menawarkan masa depan cerah karena amat sulit mendapatkan pekerjaan yang cocok baginya di kampung halamannya, Sumatera Barat. Dari pekerjaan ini, ia mampu mengirim uang untuk menyokong kehidupan orangtuanya. Namun, masyarakat setempat seperti Iwan, tidak dianggap cocok menjadi pegawai walau mereka lahir dan besar di wilayah itu, hanya karena mereka tidak mengenyam pendidikan setinggi Silmi.

Berbagai faktor di luar kendali individu mempengaruhi taraf pendidikan seseorang. Kalimantan hanya punya sedikit sekolah dan universitas, sehingga kesempatan belajar jadi lebih sedikit. Sekolah yang ada hanya memiliki dana terbatas dengan kualitas yang kurang baik dibandingkan sekolah-sekolah di Jawa. Selain itu, disinyalir ada keterkaitan antara tingkat polusi tinggi—seperti yang dihasilkan industri tambang dan ekstraktif, atau yang diperburuk oleh kerusakan hutan—dengan tingkat pendidikan rendah, seperti yang telah dibuktikan di negara-negara berkembang lain dengan pola migrasi yang mirip (Zhang, Chen, & Chang, 2018). Selain itu, lahir dan besar di dalam lingkungan yang rusak bisa mempengaruhi tumbuh kembang generasi selanjutnya.

Selain itu, persepsi inferioritas memperparah keadaan ini. Kalimantan bukan satu-satunya tempat di mana orang lokal tidak diminati oleh pasar kerja, sehingga masyarakat setempat menjadi kurang berkembang. Hal ini adalah akar dari mitos tentang inferioritas lokal, sehingga orang lokal sulit mendapat pekerjaan (Alatas, 1977). Mitos ini kemudian menyediakan justifikasi bagi perusahaan yang diberi insentif untuk mempekerjakan transmigran.

Maka, walaupun transmigrasi menciptakan lapangan pekerjaan, kesempatan kerja hanya tersedia bagi mereka yang dianggap pantas untuk bekerja. Seringkali masyarakat setempat diabaikan, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang dibutuhkan. Korporasi yang tidak punya akuntabilitas sosial atau lokal diberi insentif untuk mempekerjakan pendatang dari luar Kalimantan, dan menempatkan mereka di jabatan yang lebih tinggi, sementara masyarakat setempat hanya boleh bekerja sebagai kerah biru.

Tanda Bahaya dari Kalimantan

Jalan baru dibangun melintasi lahan yang dibebaskan demi tujuan-tujuan transmigrasi. Sumber: Lengga Pradipta.

Pada intinya, migrasi dan pola kuno transmigrasi terlalu sering digunakan sebagai strategi instan, bukannya strategi adaptif yang proaktif. Hal tersebut tak hanya memperparah kerapuhan individu atau rumah tangga karena kurangnya modal ekonomi dan sosial, tetapi juga berdampak hebat terhadap masyarakat adat. Banyak dari mereka, seperti Iwan, terhalau dari tanah mereka karena dampak ekologis yang muncul walau mereka memegang hak legal yang diakui.

Ibukota baru, Nusantara, yang akan segera dibangun juga kemungkinan besar akan mengalirkan penduduk baru ke Kalimantan dalam beberapa tahun mendatang. Ketika ibukota dipindah dari Jakarta, masyarakat adat Kalimantan akan merasakan dampak yang signifikan—seperti infrastruktur baru dan keharusan untuk hidup berdampingan dengan pemukim baru—sementara masih berkutat dengan masalah yang telah ada. Malah, isu baru terkait pembangunan mungkin akan muncul, dan pemerintah, mungkin lagi-lagi, akan mempersilakan penyerobotan tanah adat demi kepentingan migran. Lebih jauh lagi, sekali pun masyarakat adat memegang sertifikat tanah, secarik kertas itu tidak dapat menjamin pertahanan mereka di masa depan.

Berpindah ke ibukota tidak hanya persoalan administratif, tetapi juga soal siapa yang memegang kuasa dan berwenang untuk menentukan proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya mempengaruhi kehidupan masyarakat di masa depan dalam skala nasional, terutama mengingat perubahan populasi dan pembangunan ini terjadi di luar batasan-batasan wilayahnya (Gottmann, 1983). Relokasi ini akan berdampak pada penggundulan hutan di Kalimantan. Terlebih,ketika proyek ini membutuhkan sumber daya yang amat besar dalam hal upaya, waktu, dan uang. Vuurst dan Escobar (2020) berpendapat relokasi ini tak hanya akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi signifikan, tetapi juga akan berdampak pada rusaknya lingkungan alam, hilangnya keragaman hayati, dan konflik akibat migrasi.

Alternatifnya, bisa saja perpindahan ini memacu perubahan dalam pola pikir pemerintah pusat, serta mengalihkan pemerintah dari sudut pandang Jawa-sentris dan makin sensitif terhadap sudut pandang masyarakat adat. Namun, perpindahan ini juga bisa saja memulai gelombang baru eksploitasi Kalimantan oleh kaum elit Jawa dan memusatkan tampuk kekuasaan ke bagian Indonesia yang baru. Yang jelas, asumsi fundamental tentang pembangunan dan migrasi harus dipelajari secara utuh untuk menghindari terulangnya kegagalan transmigrasi di Indonesia.

Secara khusus, artikel ini telah mengidentifikasi lima asumsi saling terkait yang harus diberantas:

Sumber Daya Alam “Bebas Ambil”: Harga yang sebenarnya dari apa yang diambil dari bumi (mineral, minyak, kayu, dll) amat jarang dimasukkan ke dalam neraca bisnis. Perusahaan kayu yang menggunduli hutan kerap kali berusaha memitigasi ini dengan menanam pohon. Akan tetapi, sekedar pohon saja bukanlah hutan. Hutan adalah suatu ekosistem kompleks yang membutuhkan dana amat banyak untuk memperbaikinya.

Selain itu, perusahaan tambang mengambil mineral dan merasa mereka tidak harus mengembalikan apapun lagi. Mereka telah membayar peralatan dan membeli konsesi, namun mereka tidak pernah membayar untuk produksi mineral itu sendiri (yang mana tidak mungkin dapat mereka bayar karena pembentukan mineral membutuhkan waktu jutaan tahun), dan mereka tidak dapat menggantinya untuk persediaan generasi mendatang. Pada dasarnya, mereka mengambil apa yang mereka tambang dengan cuma-cuma.

Keuntungan dari menjual kayu dan mineral kemudian dikantongi oleh pemodal asing dan pemerintah, sementara masyarakat adat dan lingkungan hidup yang membayar harganya. Jadi, sebenarnya, berapa kah harga yang pantas dari ekstraksi sumber daya alam?

“Negara” dan Ideologi Nasionalisme: Eksploitasi/pembangunan Kalimantan dilanggengkan dengan membawa-bawa misi “pembangunan nasional”,—namun, siapakah “negara” itu?

Secara historis, aksi-aksi di Kalimantan mengindikasikan bahwa kepentingan “negara” sama dengan kepentingan Belanda, dan kemudian Jawa—semuanya mendahului kepentingan orang-orang di Kalimantan. Bukan berarti orang-orang non-Jawa tidak mendapatkan untung dari pembangunan “nasional”, tetapi kepentingan yang didahulukan selalu kepentingan para elit. Di sisi lain, kegiatan industri ekstraktif di kawasan hutan memberikan keuntungan besar bagi negara. Sebaliknya, pihak-pihak yang ingin melawan “negara” memiliki pengaruh yang besar melalui retorika tameng “pembangunan”.

Kolonialisme dan Pemodal Asing: Apakah Indonesia telah benar-benar merdeka untuk bertindak demi kepentingan rakyatnya? Indonesia memenangkan kemerdekaan politis di tahun 1945, namun, seperti yang telah diperingatkan oleh Nkrumah (1969), negara-negara bekas jajahan terus didikte oleh kepentingan pemodal asing. Aksi-aksi para elit dipengaruhi, secara terpaksa dan tidak terpaksa, oleh pemodal asing dan organisasi neoliberal seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB. Kebijakan pemerintah memperparah kerusakan alam, mempersilakan pemodal asing untuk meraup untung dengan cara menjebak para petani dalam kubangan hutang, semua atas nama “pembangunan”. Kegagalan pemerintah Indonesia untuk menghentikan perusahaan asing dari melahap kekayaan Kalimantan, walau lewat berbagai tuntutan hukum, menunjukkan bahwa, paling tidak di wilayah ini, pemerintah tidak benar-benar berkuasa.

Pembangunan sebagai Kebaikan: Sebenarnya, siapa yang untung dari “pembangunan”?

Gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah bagian dari moral yang baik, pada umumnya, tidak pernah dipertanyakan, tetapi pertumbuhan tidak menguntungkan bagi rakyat secara adil. Ketika hutan di Kalimantan digunduli, pengusaha asing meraup untung lewat anak perusahaan lokal. Transmigran juga mendulang untung sementara masyarakat setempat merugi. Kebijakan “pembangunan” diotak-atik sesuai kepentingan politis dan ekonomi. Padahal, kebutuhannya adalah kebijakan multisektoral dan inklusif yang menghormati riset yang berdasarkan bukti, mempertimbangkan kepentingan manusia dan alam, serta melibatkan perencanaan, perancangan, dan pembangunan kapasitas yang berfokus pada keuntungan manusia dan ekologi, bukan semata untuk keuntungan finansial.

Migrasi sebagai alat politik: Migrasi tidak terhindarkan. Untuk memutuskan apakah pada dasarnya migrasi adalah baik atau buruk, kita akan memerlukan perdebatan panjang. Akan tetapi, seperti yang telah ditunjukkan oleh artikel ini, migrasi menyebabkan dampak berkepanjangan, terutama ketika digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan ekonomi. Siapa yang bermigrasi, kenapa, dan apa dampaknya jika mereka berpindah dari asalnya ke tempat tujuan?

Apa yang terjadi di Kalimantan menunjukkan bahwa program transmigrasi dikerahkan sebagai solusi mudah dan cepat namun membawa masalah lingkungan, sosial, dan politik. Lebih buruknya lagi, masalah-masalah ini dipengaruhi oleh stereotip ras, kelas, dan budaya yang menjustifikasi diabaikannya masyarakat adat dari mendapatkan pekerjaan dan sumber daya. Daripada menghabiskan uang untuk membawa para migran, mengapa tidak mendidik dan mempekerjakan para masyarakat setempat yang sudah ada di sana sebelumnya?

Ilustrasi oleh Konijn Sate.

Ironisnya, transmigrasi bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan urban dan meringankan kepadatan penduduk dengan cara memindahkan orang ke area-area yang “kurang berkembang” di Indonesia. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Kalimantan kehilangan kapasitas untuk menghidupi masyarakatnya sendiri.

Bagi orang-orang seperti Iwan dan keluarganya, hutan adat tidak lagi dapat ditinggali, dan mereka harus pergi demi mencari nafkah di kota. Lambat laun, area-area dengan kekayaan sumber daya alam tinggi seperti Kalimantan, hutan hujan Amazon, dan Afrika Tengah, akan rusak dan tidak dapat ditinggali. Masyarakat setempat akan berpindah untuk mencari kerja, dan akan menambah kepadatan populasi di area-area berkembang, menambah tekanan pada sumber daya yang kian tipis. Jika kita mengabaikan tanda bahaya dari Kalimantan, bahaya maut mengintai kita semua.

Pembaca Dapat Segera Bertindak:

  • Dukung pekerjaan organisasi-organisasi non pemerintah (LSM) yang bekerja untuk memitigasi kerusakan lingkungan di Kalimantan seperti WALHI, Tambuhak Sinta, Pandu Alam Lestari, dan Orangutan Indonesia.
  • Hubungi anggota DPR yang mewakilimu dan suarakan kekuatiranmu. Tuntut mereka, dan para kandidat politik, untuk ambil posisi dalam masalah transmigrasi dan kerusakan alam. Pemilu Indonesia akan berlangsung di tahun 2024 dan akan menjadi kesempatan untuk mempengaruhi arahan Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat. Cari tahu apakah provinsi, daerah, atau kotamu adalah eksportir atau importir transmigran, atau berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
  • Bagikan artikel ini dengan teman dan keluargamu, dan diskusikan kekuatiranmu dengan mereka.
  • Hadiri acara-acara New Naratif untuk mendiskusikan isu ini serta berjejaring dengan orang-orang lain yang ingin berjuang demi perubahan.
Daftar Pustaka

Action in Solidarity with Asia and the Pacific. (1999). Country Reports on Human Rights Practices.

Adhiati, M.A.S., & Bobsien, A. (2001). Indonesia’s transmigration programme: An update. Down to Earth. https://www.downtoearth-indonesia.org/story/indonesia-stransmigration-programme-update

Alatas, Syed. (1977). The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism.Frank Cass & Co. 

Ananta, A., et al. (2021). Migration, Ethnic Diversity, and Economic Growth: Towards an Empirical Understanding of Regional Development in Indonesia. Working Paper No. 66, Institute of Asian Studies, Universiti Brunei Darussalam. https://ias.ubd.edu.bn/wp-content/uploads/2021/09/working_paper_series_66.pdf

Arndt H.W. (1983). Transmigration: achievements, problems, prospects. Bulletin of Indonesian economic studies, 19(3), 50–73. https://doi.org/10.1080/00074918312331334429

Barter, S.J., and Côté, I. (2015). Strife of the soil? Unsettling transmigrant conflicts in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies, 46(1), 60–85. http://www.jstor.org/stable/43863128

Colchester, M. (2017). Do Commodity certification systems uphold indigenous peoples’ rights? Lessons from the Roundtable on Sustainable Palm Oil and Forest Stewardship Council. Policy Matters, 21, 149–165.

EU Science Hub. (2019). Southeast Asia Forests – Their Future Affects Ours. https://joint-research-centre.ec.europa.eu/jrc-news/southeast-asias-forests-their-future-affects-ours-2019-05-21_en 

FAO. (2020). Global Forest Resources Assessment. https://doi.org/10.4060/ca8753en

Gaworecki, M. (2018). Extractive Industries Threaten a Million Square Kilometers of Intact Tropical Forests Around the Globe. Mongabay. https://news.mongabay.com/2018/07/extractive-industries-threaten-a-million-square-kilometers-of-intact-tropical-forests-around-the-globe/

Gottmann, J. (1983). Capital cities. Ekistics, 50(299), 88–92.

Jiwan, N., & Colchester, M. (2020). Transmigration Townships and The Dayak Bekati. Forest Peoples Program. https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/Transmigration%20Townships%20v3%20%28002%29.pdf 

Kemendesa RI [Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia]. (2015). Transmigrasi: Masa Doeloe, Kini dan Harapan Kedepan. http://ditjenpkp2trans.kemendesa.go.id/resources/files/a2e27404a080382134857e7ef4874c6f.pdf

Lai, J.Y., Hamilton, A., & Staddon, S. 2021. Transmigrants Experiences of Recognitional (in)Justice in Indonesia’s Environmental Impact Assessment. Society & Natural Resources, 34(8), 1056-1074. doi: https://doi.org/10.1080/08941920.2021.1942350

Levang, P., & Sevin, O. (1989). 80 years of Transmigration in Indonesia. Orstom Indonesia.

Nawir, A.A., & Rumboko, L. (2007). History and state of deforestation and land degradation. In A.A. Nawir, L. Rumboko, L., & Murniati (Eds.), Forest rehabilitation in Indonesia: Where to after more than three decades? (pp. 11–32). Center for International Forestry Research. http://www.jstor.org/stable/resrep02085.8

Peluso, N. (1992). The political ecology of extraction and extractive reserves in East Kalimantan, Indonesia. Development and Change, 23(4), 49-74.

Permenakertrans [Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi]. (2007). No. PER.15/MEN/ VI/2007, Art. 8.

Potter, L. (2012). New transmigration ‘paradigm’ in Indonesia: Examples from Kalimantan. Asia Pacific Viewpoint, 53(3), 272–287

Prihatin, R.B. (2013). Revitalisasi Program Transmigrasi. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/487 

Rich, B. (1994). Mortgaging the earth. The World Bank, environmental impoverishment, and the crisis of development. Beacon Press, Boston. 

Ruzicka, I. (1978). Forest exploitation in Indonesia: Past and present. Indonesia Circle, 6(16), 3-15. doi: https://doi.org/10.1080/03062847808723707

Sage, C. (2005). The search for sustainable livelihoods in Indonesian Transmigration settlements. In R. Bryant and M. Parnwell (Eds.), Environmental Change in South-East Asia: People, Politics and Sustainable Development (pp. 91–116). London: Routledge.

Santika, T., et al. (2019). Does oil palm agriculture help alleviate poverty? A multidimensional counterfactual assessment of oil palm development in Indonesia. World Development, 120, 105–117.

Undang Undang Pokok Agraria Republik Indonesia. (1960).

Van Solinge, T.B. (2016). “Organized Forest Crime: A Criminological Analysis with Suggestions from Timber Forensics. In T.B. van Solinge et al. (Eds.), Organized Forest Crime: A Criminological Analysis with Suggestions from Timber Forensics (pp.81–96). International Union of Forest Research Organizations (IUFRO). https://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BIUFRO1605.pdf

Vuurst, P.V. & Escobar, L. (2020). Perspective: Climate Change and the Relocation of Indonesia’s Capital to Borneo. Front. Earth Sci., Sec. Interdisciplinary Climate Studies. https://doi.org/10.3389/feart.2020.00005

Zhang, X, Chan, X, and Xhang, X. (2018) The impact of exposure to air pollution on cognitive performance. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 115 (37), 9193-9197. https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1809474115.

Catatan Kaki
  1. Di Indonesia, seluruh pulau ini juga disebut “Kalimantan”. Dalam artikel ini kata “Kalimantan” merujuk pada bagian pulau yang berada di bawah kekuasaan Indonesia, yang meliputi 72% area tersebut, dan yang dibagi menjadi lima provinsi – Kalimantan Utara, Selatan, Barat, Timur, dan Tengah. Pulau ini juga diduduki oleh Brunei serta dua negara bagian Malaysia, Sabah dan Sarawak.
  2. Wawancara telepon di tanggal 10 September 2022
  3. Undang Undang Pokok Agraria (Agrarian Law), disahkan di Indonesia sejak 1960, mengatur manajemen dan kepemilikan lahan di Indonesia.
  4. Wawancara telepon di 10 September 2022.
Kredit

Tanda Bahaya dari Kalimantan: Keterkaitan Degradasi Lingkungan dengan Migrasi Internal

Tahun Publikasi: 2022

Penulis Lengga Pradipta

Penyunting Wailiang Tham, dengan tambahan suntingan dari Fadiyah Alaidrus

Penerjemah Gisela Swaragita

Ilustrator Konijn Sate

Graphic Design Ellena Ekarahendy, Mufqi Hutomo

Pendanaan Artikel ini dibantu oleh Heinrich Böll Stiftung, Grant C12.22_2021

Laporan penelitian ini, diluar dari ilustrasinya, berada di bawah lisensi CC BY-NC-SA 4.0. Untuk melihat salinan dari lisensinya, silakan kunjungi http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/. Seluruh ilustrasi adalah milik dari masing-masing ilustrator.

Silakan kutip laporan ini sebagai Pradipta, Lengga. 2022. Kalimantan’s Warning: The Intertwined Dynamics of Environmental Degradation and Internal Migration. New Naratif.

Related Articles

Responses