Ancaman Pegasus: Warga Negara Indonesia Dimata-matai Tanpa Landasan Hukum Menjelang Pemilu 2024

Apa itu Pegasus? Komik ini merupakan penjelasan dasar singkat tentang peranti mata-mata kelas militer serta penyelidikan IndonesiaLeaks terkini yang mengungkap ancamannya di Indonesia serta maknanya bagi demokrasi di Asia Tenggara secara luas.

Apa sih, Pegasus itu? Emang apa bedanya dengan spyware lain?

What did the IndonesiaLeaks report reveal?

Tapi emangnya pemerintah bakal ngapain?

Apa arti semua ini bagi demokrasi?

What do we need to do now?

Kesimpulan

Seiring kita mendekati tahun pemilu 2024, kian penting bagi kita untuk mengawal demokrasi dari pelanggaran blak-blakan sebagaimana yang saat ini dilakukan dengan Pegasus. Walau kegiatan investigasi jurnalistik dan forensik digital harus selalu kita dukung, kita harus menyadari bahwa organisasi-organisasi sipil dan non-pemerintah tak akan pernah punya cakupan akses dan pendanaan yang dibutuhkan untuk melawan pemata-mataan luas di luar hukum yang dilakukan dengan peranti asing kelas militer.

Yang perlu kita lakukan adalah terus meningkatkan kemawasan masyarakat dan bersuara sekencang-kencangnya guna menekan pemerintah untuk menghentikan aksi mereka serta menunjukkan transparansi dan tanggung jawab dengan tim investigasi khusus. Kamu juga bisa mengikuti investigasi Pegasus Project di Forbidden Stories untuk tahu apa yang sedang terjadi di seluruh dunia, serta IndonesiaLeaks untuk investigasinya di Indonesia.

Members only

Log in or

Join New Naratif as a member to continue reading


We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to [email protected] to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.

Related Articles

Media yang Melek Gender: Seri 4, Terbitan 3 – Temuan dari Indonesia dan Filipina

Author:

Translated Versions:


EN


TH


MY

On this Page



On this Page



Pendahuluan

Setelah memimpin reformasi dan institusi demokrasi di akhir rezim diktator pasca-Kemerdekaan abad ke-20, seperti apakah kebebasan pers di Indonesia dan Filipina hari ini? Sayangnya, para pembuat berita menghadapi tantangan signifikan di bawah rezim otoriter terbaru, yakni pemerintahan Joko Widodo di Indonesia (2014 hingga sekarang); dan pemerintahan Rodrigo Duterte di Filipina (2016-2022) yang pengaruhnya berlanjut di bawah penerusnya, Ferdinand Marcos Jr. Penting bagi kami untuk meneliti pengalaman pembuatan berita kontemporer di kedua negara tersebut untuk memahami lebih lanjut ancaman terhadap kebebasan berekspresi (dan lantas, demokrasi) dan bagaimana pembuat berita menekankan agensi1 mereka di tengah tiga persoalan: (1) negara; (2) kekerasan; dan (3) modal. Melalui perspektif yang sensitif akan gender, kami menguraikan bagaimana pembuat berita, terutama dari organisasi media independen dan alternatif, bergulat dan beradaptasi dengan tantangan hari ini, sebelum merekomendasikan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kebebasan pers regional.

Konteks partisipan kami

Dalam laporan ini, penggunaan istilah “alternatif” dan “independen” bisa dipertukarkan. Penggunaan istilah tersebut di kalangan partisipan sejalan dengan gagasan Forde (2011) bahwa praktik alternatif “bukan sebatas reaksi terhadap arus utama, namun dalam kasus-kasus tertentu, [praktik tersebut] tidak mementingkan praktik dan nilai jurnalistik arus utama.” Ini mencakup media “komunitas, akar rumput, radikal, warga, dan independen” (hal. 2). Beberapa praktisi kami juga secara tegas membedakan diri dari media arus utama — yang dalam hal ini merupakan media swasta atau terkait dengan negara, berdasarkan klasifikasi dalam sistem yang telah kami susun sebelumnya.

Kami melakukan wawancara semi-terstruktur dengan sepuluh perempuan pembuat berita,2 seorang jurnalis non-biner dari Indonesia (N16), dan seorang praktisi media gay dari Filipina (N18).3 Latar belakang mereka beragam, dari jurnalisme televisi hingga jurnalisme data. Salah satu partisipan (N27) juga seorang perempuan penduduk asli Luzon bagian utara, satu dari dua partisipan yang bermukim di luar area ibukota Filipina.4 Secara khusus, kami menggarisbawahi kerja organisasi akar rumput seperti Aliansi Jurnalisme Independen (AJI), Altermidya (jaringan kelompok media alternatif tingkat nasional di Filipina), dan National Union of Journalists of the Philippines (NUJP).5

This post is only available to members.

Media yang Melek Gender: Temuan dari Malaysia, Singapura, dan Brunei


Pendahuluan

Mengingat wilayah Asia Tenggara menaungi berbagai praktik, wadah, maupun batasan-batasan bermedia, tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Berdasarkan metodologi yang telah diterapkan di Seri 4, Terbitan 1, kami melakukan wawancara mendalam dan semi-terstruktur untuk menyelidiki tema penting dalam kebebasan bermedia, yakni pengalaman berbasis gender dan kaum marginal, untuk memahami proses pembuatan berita sebagai spektrum pengalaman kerja nyata yang melibatkan pembaca, jurnalis, editor, dan produser. Jika gender menjadi “bingkai utama yang tak disadari untuk memahami orang lain dalam suatu interaksi” (Fisk & Ridgeway, 2018, h. 158), maka amatlah penting untuk mewadahi pengalaman-pengalaman para pembuat berita dengan gender dan seksualitas yang terpinggirkan.

Siapa yang bisa disebut sebagai pembuat berita?

Mengingat wilayah Asia Tenggara menaungi berbagai praktik, wadah, maupun batasan-batasan bermedia, tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Berdasarkan metodologi yang telah diterapkan di Seri 4, Terbitan 1, kami melakukan wawancara mendalam dan semi-terstruktur untuk menyelidiki tema penting dalam kebebasan bermedia, yakni pengalaman berbasis gender dan kaum marginal, untuk memahami proses pembuatan berita sebagai spektrum pengalaman kerja nyata yang melibatkan pembaca, jurnalis, editor, dan produser. Jika gender menjadi “bingkai utama yang tak disadari untuk memahami orang lain dalam suatu interaksi” (Fisk & Ridgeway, 2018, h. 158), maka amatlah penting untuk mewadahi pengalaman-pengalaman para pembuat berita dengan gender dan seksualitas yang terpinggirkan.

This post is only available to members.

Bahaya Ketergantungan Filipina Mengeksploitasi Warganya Sendiri

Pemerintah Filipina memulai ekspor buruh sebagai langkah darurat demi mengentaskan kesenjangan sosial, namun mereka kini makin agresif mengekspor warga negaranya sendiri. Migrasi buruh memang menjadi solusi jangka pendek untuk masalah ekonomi bagi para keluarga pekerja migran, serta telah membawa manfaat bagi negara-negara pemberi kerja, elit lokal, dan pemerintah. Namun masalah jangka panjang terus mengintai para pekerja migran, warga Filipina, serta negeri tersebut.