Ketika seseorang membayangkan tentang Asia Tenggara, “hak asasi manusia” bukanlah hal pertama yang muncul dalam pikirannya—kecuali dalam konteks yang negatif. Pada saat ini misalnya tindakan kekerasan sedang berlangsung terhadap kelompok Rohingya di Negara Bagian Rakhine di Myanmar, merupakan contoh paling buruk yang terjadi di kawasan ini, dan tidak ada satupun negara dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang memiliki catatan hak asasi manusia yang cukup memuaskan.
Komisi HAM Antar-Pemerintah untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) dibentuk pada 2009. Komisi tersebut, terdiri atas perwakilan dari 10 negara anggota, memiliki mandat “mengembangkan strategi untuk dukungan dan perlindungan hak asasi manusia serta kebebasan yang fundamental” di dalam ASEAN. Namun AICHR telah mendapat kecaman sepanjang keberadaannya karena dianggap tidak efektif.
“AICHR sekarang bukanlah sebuah lembaga perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi kami,” kata Emerlynne Gil, penasehat senior hukum internasional di Komisi Internasional Ahli Hukum untuk Asia Tenggara. “Malahan sebaliknya, kami memandangnya sebagai sebuah lembaga yang harus dibina lebih lanjut agar efektif dalam menangani masalah hak asasi manusia di kawasan ini.”
Ketika komisi tersebut mendekati tahun ke-10 mereka, perwakilan untuk AICHR menjelaskan tentang tantangan struktural—termasuk pembatasan pendanaan dari Mitra Dialog Eksternal ASEAN—yang membuat mereka tertinggal dalam hal perlindungan hak asasi manusia di kawasan tersebut.
Members only
Log in or
Join New Naratif as a member to continue reading
We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.
