Pada tanggal 21 Maret 2018 tepatnya jam 6 pagi, ketika sebuah akun dengan nama “Fathul Khoir Ham” meminta para anggota grup Facebook Muslim Cyber Army News (MCA News) untuk menyerang seorang “penyusup”—kemungkinan pendukung dari presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo—Ham diduga mencoba untuk memata-matai kegiatan MCA.
“Sudah lama tidak memajang link penyusup. Ayo tombol R nya mainkan,” kata Ham, termasuk tautan ke akun tersebut. Di dalam kolom komentar Ham, seorang administrator dari grup MCA News, menulis, “Hajar wall-nya. Spam dan report post.” Dia juga memberikan tutorial langkah demi langkah tentang bagaimana melaporkan akun tersebut kepada Facebook agar agar akun tersebut ditutup. Puluhan anggota MCA News menyukai postingan tersebut dan membalas mengatakan mereka telah melakukan sebagaimana yang diinstruksikan, meskipun tidak ada komentar lanjutan mengenai apakah akun tersebut ditangguhkan karena perbuatan mereka.
Begitulah modus operandi dari Muslim Cyber Army (MCA). MCA News, yang memamerkan lebih dari 300.000 anggota, hanya satu dari tiga grup Facebook yang di bawah payung mereka: ada juga United Muslim Cyber Army (United MCA) dan Muslim Cyber Army 212 (MCA 212), dengan masing-masing lebih dari 150,000 dan 18,000 anggota.
Selain itu, MCA telah dituduh menyebarkan konten palsu dan ujuran kebencian kepada membentengi divisi agama dan etnis, serta memicu rasa khawatir atas kebangkitan PKI (mantan Partai Komunis Indonesia, dilarang sejak tahun 1966), etnis Tionghoa Indonesia, dan komunitas LGBT
Ketiga grup ini semuanya mengklaim membela Islam dan ulama dan diisi dengan postingan penghinaan terhadap pemerintahan, khususnya Presiden Jokowi, yang sering disebut dengan nama karakter “Dilan” dan “Mukidi” (tokoh komedi yang kampungan dan gampang dibully), atau “Asal Bukan Jokowi” atau ABJ. Para anggota diarahkan untuk bertindak melawan target online tertentu, dengan tujuan membuat akun “musuh-musuh” mereka ditutup.
Selain itu, MCA telah dituduh menyebarkan konten palsu dan ujuran kebencian kepada membentengi divisi agama dan etnis, serta memicu rasa khawatir atas kebangkitan PKI (mantan Partai Komunis Indonesia, dilarang sejak tahun 1966), etnis Tionghoa Indonesia, dan komunitas LGBT. New Naratif melihat barbagai postingan yang menunjukkan grup tersebut menyebarkan kebohongan tentang penganiayaan ulama-ulama dan memposting konten fitnahan tentang presiden. Polisi Indonesia juga telah mengatakan bahwa para anggotanya secara curang memberitakan akun Facebook dan mengirim virus ke pendukung Jokowi untuk merusak perangkat elektronik penerimanya.
Namun permainan pemberitaan Facebook berdampak bagi keduanya. Sehari setelah postingan Ham tentang “penyusup”, administrator lainnya dengan nama akun “Fauzul Putra Anam” mengumumkan kepada grupnya bahwa akun Ham telah diserang dan dilumpuhkan. Dia mengarahkan jarinya pada “kecebong”—mengacu pada rumor bahwa Jokowi memelihara kecebong dan kodok sebagai binatang peliharaan di istana kepresidenan, dan sekarang dipakai untuk istilah hinaan bagi para pendukung presiden.
Semuanya itu menunjuk ke perkembangan masalah dalam kontestasi politik Indonesia, ketika medan perperangan tersedia baik online dan offline, serta tidak semua pemain dapat diidentifikasi dengan jelas.
Pendaftaran Tentara
“Di Indonesia, ada kekhawatiran yang signifikan tentang apa yang disebut ‘berita hoax’ setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017,” kata Ross Tapsell, penulis Kekuatan Media di Indonesia: Oligarki, Warga Negara dan Revolusi Dgital. “Ketika semakin banyak orang Indonesia beralih ke media sosial untuk asupan berita keseharian mereka, partai-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan, secara tidak mengherankan, berusaha mempengaruhi orang-orang melalui platform ini”. Muslim Cyber Army adalah salah satu grup yang dimaksud.
Sementara United MCA merupakan sebuah grup terbuka dengan postingan publik, sedikit lebih sulit untuk bergabung dengan jajaran MCA News dan MCA 212. Para calon anggota harus menulis shahada dan bersumpah bahwa mereka mencintai ulama dan habaib sebelum permintaan mereka bergabung disetujui oleh seorang administrator. Hanya dengan demikian seseorang dapat menganggap diri mereka pembela agama.
“Jika ada anggota di sini yang mempromosikan presiden dan wakil presiden dari partai politik yang mendukung penghujat atau yang mendukung pembubaran organisasi massa, dengan segala hormat silahkan keluar dari sini,” pernah ditulis oleh Ham dalam postingannya. Postingan tersebut disukai oleh hampir tiga ribu anggota.
“Strategi sentris media sosial mereka sangat tepat bagi masyarakat yang terus menghabiskan waktu dengan ponsel mereka yang bergulir melalui situs media sosial”
Menurut MCA, “penghujat” adalah tokoh-tokoh politik seperti mantan gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang dihukum pada tahun 2017 dua tahun penjara karena menghina Islam. Mereka yang mendukung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang mengenai Pembubaran Organisasi Massa atau Perppu Ormas—yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi pada tahun 2017 untuk mencegah penyebaran ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara yaitu Pancasila dan Konstitusi 1945—yang juga secara khusus di caci maki. Segera setelah undang-undang tersebut dikeluarkan, pemerintah membubarkan kelompok Muslim garis keras Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah langkah yang oleh anggota MCA ditafsirkan sebagai serangan. “Umat Islam itu sangat terzholimi dengan kasus Ahok, Perppu Ormas,” Anam menyatakan dalam sebuah postingan.
Seperti yang dijelaskan Tapsell, meningkatnya kelompok-kelompok di Facebook mencerminkan permasalahan yang lebih dalam di Indonesia, seperti ketidakpercayaan media berita tradisional perjuangan yang terus berlanjut dengan identitas: “Masyarakat bisa dirayu oleh pendapat media sosial mereka untuk dibagi menjadi isu-isu sektarian dan identitas lainnya. Blogger Facebook … merupakan bentuk praktek komunikasi kampanye baru yang sangat inovatif … Strategi sentris media sosial mereka sangat tepat bagi masyarakat yang terus menghabiskan waktu dengan ponsel mereka yang bergulir melalui situs media sosial.”
Bergerak meskipun ada tindakan keras
New Naratif menyusupi grup MCA News selama seminggu dan mendapatkan grup tersebut beroperasi seperti biasanya, dengan puluhan ribu postingan hanya dalam satu bulan terakhir, meskipun 14 orang anggota dari grup tersebut telah ditangkap pada akhir Februari 2018.
Setelah penangkapan, salah satu administrator grup tersebut, “Muslimah Marifatullah”, berkata bahwa mereka yang ditangkap oleh polisi merupakan bagian dari barisan 212—yang melakukan demonstrasi pada bulan Februari 2017 menuntut agar Ahok dipenjara—dan kejadian tersebut dengan cepat melukiskan para anggota MCA yang ditangkap menjadi korban tindak kekerasan yang bermotif politik.
“Mereka [14 anggota tertangkap] berjuang menghanguskan akun-akun dajjal penghujat ulama dan Islam. Sudah banyak akun dajjal yang sudah diberantas oleh mereka, mereka adalah korban fitnah rezim. Kita semua tentunya sudah mengamati bahwa saat ini polisi seperti menjadi alat politik pemerintah. Polisi tidak berpihak pada umat islam, khususnya MCA”.

Saat melakukan penelitian untuk artikel ini, New Naratif menemukan postingan-postingan yang jumlahnya tidak terhitung, baik itu dari administrator maupun anggota MCA News, yang meminta anggota lainnya untuk menyerang akun “penyusup”, serta halaman pendukung Jokowi atau halaman penggemar untuk Jokowi yang telah ditandai sebagai akun “kecebong” dan “penipu”. Dasar pertimbangan melakukan ini, menurut Anam, bahwa akun “kecebong” memungkinkan “penghujatan” berkembang dan menghapus akun mereka untuk mencegah mereka menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan ulama. Ketika didekati, Anam mengkonfirmasi bahwa beberapa individu yang ditangkap pada bulan Februari 2018 merupakan anggota yang dikenal karena menyerang atau melaporkan akun “penghujat”.
“Ya betul mereka 100% anggota MCA. Tapi mereka tidak pernah mengakui sebagai Ketua MCA. Cuma media dan polisi saja yang membesar-besarkan. Dan mereka juga tidak menyebar hoax, itu fitnah,” kata Anam.
Dari sudut pandang Anam, tindakan polisi tersebut mencerminkan pandangan politik dengan jelas.” Jika yang disebar bertentangan dengan rezim ini, dikategorikan hoax,” kata Anam, menjelaskan bahwa Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) tidak mencakup untuk partai yang melaporkan akun ke Facebook.
Dia menunjukkan beberapa anggota di belakang akun pro pemerintah pada Facebook bahkan ketika mereka diduga melecehkan ulama Muslim, beralasan bahwa terdapat standar ganda dalam menanggapi dari pihak berwenang. “Coba saja join di Group AHOKER FOLLOWERS, POSO WATCH, SAVE AHOK, dan banyak lagi. Apakah Polisi menangkap mereka? Berapa banyak ulama dan pejabat yang tidak pro-rezim ini dinistakan, dilecehkan dan diedit foto-foto mereka. Kenapa dibiarkan?”
Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar, dan ada sejumlah kasus besar di beberapa grup online berbeda dimana individu-individunya telah ditangkap karena berkomentar miring tentang pemimpin agama dan tokoh politik, di samping penangkapan mantan anggota MCA baru-baru ini.
MCA dan Pemilu Presiden 2019
Anam mengatakan bahwa anggota MCA News bergabung bersama-sama pada awalnya hanya untuk membela Islam. “Saya sendiri ikut MCA karena ingin membela agama dan ulama, karena di rezim ini hukum tebang pilih.” Meskipun hampir semua postingan-postingan tersebut mendukung tokoh-tokoh dan partai tertentu, dia bersikeras grup ini tidak berafiliasi dengan salah satu dari mereka.
Meskipun mereka mengklaim tidak tertarik dengan politik, seorang administrator MCA News yang bernama “Mahsyar Oddy” mengumumkan bahwa, untuk pemilihan presiden 2019, MCA News hanya merekomendasi kandidat-kandidat dari “empat partai pendukung Islam dan Ulama”
Setiap postingan yang dikirim oleh para anggota untuk grup MCA News harus disetujui terlebih dahulu oleh seorang administrator, dan hampir semua topik diskusi dan tanggapan selanjutnya mengikuti pola yang sama. Selama seminggu itu New Naratif mengikuti administrator dan anggota-anggota grup MCA News yang secara teratur mendukung “Koalisi Habib Rizieq”, sebuah kelompok yang diduga mendukung ulama Indonesia Habib Rizieq, pemimping dari Front Pembela Islam (FPI) yang menginginkan Indonesia mengadopsi hukum Syariah di seluruh negeri, dan berpotensi menjadi salah satu lawan Jokowi dalam pemilihan presiden 2019.
Meskipun mereka mengklaim tidak tertarik dengan politik, seorang administrator MCA News yang bernama “Mahsyar Oddy” mengumumkan bahwa, untuk pemilihan presiden 2019, MCA News hanya merekomendasi kandidat-kandidat dari “empat partai pendukung Islam dan Ulama”: yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Anam memberitahu New Naratif bahwa setiap pengurus mempunyai hak untuk mencalonkan tokoh politik atau kelompok-kelompok tertentu untuk diskusi, selama figur tersebut bukan Jokowi, anggota partai yang mendukung “penghujat”, atau seseorang dari partai yang mendukung peraturan Perppu.
Peran penting administrator
Meskipun istilah “Muslim cyber” telah ada sejak beberapa waktu, Anam mengatakan grup tersebut benar-benar mulai mendapatkan momentum setelah serangkaian aksi membela Islam dari tahun 2016 sampai 2017 termasuk demonstrasi massa di Jakarta yang menyerukan mantan gubernur Jakarta Ahok agar dipenjara karena penodaan agama. Peran utamanya, sebagaimana dijelaskan oleh para anggotanya, unuk membasmi akun-akun yang diduga menghujat, atau “akun jahat” yang diduga menghina para ulama Islam.
Namun Hendardi, ketua organisasi hak asasi manusia Setara Institute, mengatakan jaringan MCA – dengan ratusan ribu pengikutnya—menyebarkan hoax dan orasi kebencian berdasarkan konten suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial bahkan skalanya lebih besar dari pada rekan-rekan lain yang bersebrangan.
“MCA tampak lebih ideologis, memiliki jaringan ribuan di berbagai wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, daya merusak kelompok ini lebih besar dari Saracen,” dia mengingatkan, mengacu kepada kelompok penyebar berita palsu lainnya yang memicu tindakan polisi di tahun 2017.
“MCA tampak lebih ideologis, memiliki jaringan ribuan di berbagai wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, daya merusak kelompok ini lebih besar dari Saracen”
Administrator memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menyaring postingan yang masuk, tetapi MCA News tidak memiliki struktur organisasi yang baku. Anam menolak untuk membocorkan jumlah administrator grup, namun mengakui bahwa mereka tersebar di sejumlah negara. “Banyak admin MCA yang tinggal di luar negeri, hampir di seluruh negara ada,” kata Anam, yang mana profil Facebook milik dia mengatakan dia tinggal di Bangkok. “[Administrator lainnya] cuma dilihat seberapa banyak waktunya mengurus grup, seberapa kuat akunnya terhadap serangan lawan, itu saja,”
Dia juga mengklaim bahwa para administrator tidak dibayar: “Kalau kami dibayar, mungkin saya sudah kaya raya. Karena hampir 15 jam atau 18 jam hanya plototin HP terus.” Tidak ada usulan, dari pembicaraan anggota MCA dan dari postingan di grup Facebook MCA News, bahwa setiap orang dibayar karena pelayanan mereka sebagai administrator. Jikalaupun ada, hal ini masih belum pernah diumumkan oleh anggota kelompok.
Anam menolak mengungkapkan jika dia menggunakan akun palsu atau asli, tetapi sangat menyarankan menggunakan akun anonim saat mengkritik pemerintah. “Gunakan akun-akun asli tapi palsu untuk vokal [memprotes pemerintah]. Ingat, anonymous means freedom of speach (sic),” tulisnya pada tanggal 2 Maret 2018.
Hendardi mencurigai bahwa praktek MCA menyebarkan kebohongan dan orasi kebencian didukung oleh motivasi politik untuk menggulingkan partai-partai tertentu atau pemerintahan yang berjalan. Hal ini, kata dia, bukan hanya membahayakan integritas kontes politik di Indonesia, tetapi juga menyebabkan konflik dalam masyarakat yang merusak persaturan bangsa.
Situasi ini tidak bisa diperbaiki dengan mudah; berurusan dengan jaringan yang begitu luas merupakan tugas yang besar. Hanya ada segitu banyak satuan tugas yang dibentuk oleh pihak berwenang; pada akhirnya, hal ini merupakan persoalan yang akan membutuhkan lebih banyak organisasi dan indivdu – dari partai politik hingga kelompok pencari fakta sampai masyarakat biasa – untuk melangkah maju.
Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!