Halaman 1. Halaman komik yang terdiri dari 2 panel. Garis tepi berwarna putih digambar menyerupai riak air yang bergerak turun.
Panel 1 berwarna penuh. Seorang anak berdiri di pinggir jalan yang lebar dan dikelilingi oleh pohon kenari.
Narasi: “Menjadi pengungsi membentuk hidup manusia dengan cara yang sungguh berbeda dari dugaan orang lain.”
Panel 2 dengan garis tepi berwarna hitam dan latar belakang biru bertekstur seperti air. Tertulis tahun 2014. Ibu dan Stephani mengobrol tentang keinginan Stephani untuk pindah kerja. Ibu: “Kerja di Kuala Lumpur? Kenapa enggak yang di dekat rumah saja?” 
Stephani: “Ma…” Narasi: “Aku rasa Mama tidak pernah benar-benar lupa.”
Halaman 2. Halaman komik yang terdiri dari 4 panel. Garis tepi berwarna putih digambar menyerupai riak air yang bergerak turun.
Panel 1, sebuah foto. Sukarno membacakan Proklamasi, diapit oleh Mohammad Hatta.
Narasi: “Pada tahun 1945, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya dari Jepang… meski pemerintah Jepang dan Belanda nantinya akan berupaya untuk kembali menduduki negara.”
Sukarno: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…”
Panel 2 berwarna penuh. Seorang pria mengibarkan bendera Indonesia dengan bangga. Ilustrasi ini merujuk pada peristiwa penyobekan bendera Belanda oleh tentara Indonesia. Narasi: “Yang diingat oleh orang-orang di masa ini… adalah perang dan para pahlawannya.”
Panel 3 dengan garis tepi hitam dan latar belakang biru. Pada 1998, Stephani beserta ibu dan bapaknya mendiskusikan kemungkinan pindah rumah. Ibu: “Pindah ke Singapura? Tapi rumah kita, 'kan, di sini?” Bapak: “Ma…”
Panel 4 berwarna penuh. Menggambarkan kota yang terbakar. Narasi: “Yang dilupakan adalah dampak perang dan konflik pada rakyat negara.”
Halaman 3. Halaman komik yang terdiri dari 3 panel. Garis tepi berwarna putih digambar menyerupai riak air yang bergerak turun.
Panel 1 dengan garis tepi hitam dan latar belakang biru. Pada 1992, Stephani kecil sedang berbaring di kasur, mendengarkan ibunya yang mendongengkan cerita di sampingnya. Ibu: “Ketika Mama seumuran kamu, kota kita diserbu, lho!”
Panel 2 berwarna penuh. Keluarga Ibu mengerumuni sebuah radio, mendengarkan berita dengan seksama. Penyiar radio: “Pasukan Sekutu telah memasuki Indonesia.”
Nenek: “Belanda lagi?”
Panel 3 berwarna penuh. Narasi: “Banjarnegara, kampung halaman ibuku, hendak diambil alih oleh pasukan Sekutu untuk dijadikan markas melawan tentara Indonesia. Jadi Banjar dibakar oleh TNI untuk menghindari hal itu.” Ibu menyaksikan kobaran api yang menelan kampung halamannya.
Halaman 4. Halaman komik yang terdiri dari 3 panel. Garis tepi berwarna putih digambar menyerupai riak air yang bergerak turun.
Panel 1 berwarna penuh. Ilustrasi keluarga bergegas di jalan sembari membawa barang-barang mereka, meninggalkan kota yang terbakar di belakang. Narasi: “Saat itu, keluarga ibuku harus mengungsi secepat mungkin. Nenekku menggendong Paman yang masih kecil beserta cuciannya yang masih basah.”
Panel 2 dengan garis tepi hitam dan latar belakang biru. Pada 1991, Ibu berbicara pada Stephani kecil. Ibu: “Kamu tahu, enggak, kalau Mama sekeluarga pernah ditangkap tentara Sekutu?” Stephani: “Hah??” Ibu: “Habisnya kami disangka mata-mata, sih! Lucu, ‘kan? Karena mereka kasihan, kami diberi cokelat di penjara!”
Panel 3 berwarna penuh. Ilustrasi Ibu dan keluarga di balik jeruji besi. Seorang tentara memberi coklat Van Houten ke Ibu yang terlihat senang.
Halaman 5. Halaman komik yang terdiri dari 3 panel. Garis tepi berwarna putih digambar menyerupai riak air yang bergerak turun. 
Panel 1 berwarna penuh. Keluarga Stephani sedang dalam perjalanan. Nenek memegang wajan di atas kompor. Narasi: “Pernah juga kami kehabisan minyak goreng…Terpaksalah nenekmu memakai MINYAK TANAH!”
Panel 2 berwarna penuh. Ilustrasi tangan menuangkan minyak tanah dengan jeriken dari dekat, sementara Ibu, yang saat itu masih kecil, tampak terperanjat. Ia menyisir rambut dengan tangannya.
Panel 3 dengan garis tepi hitam dan latar belakang biru. Pada 1989, Ibu dan Stephani sedang memakan kerupuk. Ibu: “Bayangkan! Kerupuk digoreng pakai minyak tanah! Yah, enggak semua kenangan Mama jelek, sih.” Stephani memandang kerupuk dengan jengah.
Halaman 6. Halaman komik yang terdiri dari 3 panel. Garis tepi berwarna putih digambar menyerupai riak air yang bergerak turun.
Panel 1 berwarna penuh. Ibu yang saat itu masih kecil memunguti biji kenari dari pinggir jalan yang dinaungi banyak pohon kenari. Pohon-pohon tersebut berwarna hijau subur, ditemani langit biru sebagai latar belakangnya. Narasi: “Ketika kami akhirnya pulang kembali, pohon-pohon mulai mekar lagi. Biji-biji kenari berserakan di sepanjang jalan Banjar.”
Panel 2 berwarna penuh. Ilustrasi tangan yang memungut biji kenari dari dekat. 
Panel 3 dengan garis tepi hitam dan latar belakang biru. Ibu menggendong Stephani kecil, berdiri di jalan yang sama seperti panel sebelumnya. Tertulis tahun 1986. Ibu: “Mama dulu suka sekali dengan pohon kenari. Biji pohonnya yang jatuh suka Mama ambil--”
Halaman 7. Halaman komik dengan 1 panel penuh warna. Ibu memberikan biji kenari pada Stephani kecil. Sisa halaman dipenuhi garis-garis riak, bersumber dari ilustrasi ini.
Halaman 8. Halaman komik dengan 1 panel penuh warna. Lingkaran-lingkaran konsentris yang beriak timbul dari tengah halaman. Narasi: “Ketika aku memikirkan pengungsi dan bagaimana mereka dipaksa pindah, aku juga memikirkan Ibuku yang hanya ingin pulang ke rumahnya. Aku harap, suatu hari nanti, semua orang dapat menemukan tempat untuk pulang.”

Stephani Soejono is an illustrator and comic artist based in Jakarta. She is passionate about Southeast Asian history and culture, travelling and food. You can find her work at stephanisoejono.com and contact her at stephani.soejono@gmail.com